Membangun Jati Diri Keindonesiaan - "Hasrat untuk meraih kemajuan bangsa Indonesia muncul ketika banyak pemuda telah mengecap bangku sekolah, baik dalam maupun luar negeri. Selain itu, munculnya surat kabar telah memupuk kesadaran berbangsa dari seluruh lapisan masyarakat bumiputra. Kesadaran ini makin tampak dengan banyaknya organisasi kaum muda, yang mengarahkan tujuannya untuk membentuk suatu bangsa dan negara yang merdeka” Taufik Abdullah dan A.B. Lapian (ed), Indonesia Dalam Arus Sejarah VI (2012)
Kutipan di atas menunjukkan bahwa kaum muda terpelajar mempunyai peranan yang cukup penting bagi kesadaran untuk mencapai kemajuan.
Begitu pula dengan reformasi 1998, gerakan itu juga dilakukan oleh kaum muda terpelajar. Peranan mereka dapat menentukan kelangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara. Mereka penggerak dalam setiap perubahan. Bagaimana dengan kamu? Coba kamu perhatikan gelaja yang nampak pada masyarakat kita di berbagai daerah dewasa ini. Munculnya perilaku anarkis di kalangan pemuda, rasa nasionalisme yang mulai rapuh, banyak di antara remaja kita yang lebih gandrung dengan budaya dan produk luar negeri ketimbang mencintai budaya dan produk negeri sendiri, juga munculnya rasa etnosentrisme hampir dapat kita jumpa di berbagai daerah. Penolakan terhadap seorang pemimpin karena tidak berasal dari suku bangsa yang sama, atau karena perbedaan keyakinan merupakan hal yang sering kali dapat kita lihat dari berbagai media, baik cetak maupun elektronik. Semangat kebangsaan dan jati diri keindonesiaan di kalangan sebagian remaja juga mulai memudar. Mereka lebih gandrung dengan budaya dan produk luar negeri ketimbang budaya dan produk negeri sendiri. Tetapi di tengah-tengah merosotnya rasa nasionalisme dan jati diri bangsa ini ada seorang bocah berumur 8 tahun yang sudah mahir
bermain bola yang bernama Tristan Alif Naufal. Kini ia tengah mendapat undangan
untuk berlatih sepak bola di klub Ajax Amsterdam, Belanda. Ia bersama kedua
orang tuanya mendapat kesempatan menjadi warga negara Belanda dan mendapat
kesempatan menjadi pemain sepak bola di Tim Oranye yang memang sangat
menjanjikan. “Aku mau bela Tim Nasional Indonesia. Aku tidak mau jadi warga
negara Belanda, aku mau tetap jadi orang Indonesia, ujar Alif”. (Tribun Kaltim,
3 November 2013). Demikian sebuah ilustrasi yang menarik untuk sebuah semangat
nasionalisme.
Negara
Indonesia ini memang terbentuk melalui proses panjang atas dasar kesepakatan
dan kesadaran nasionalisme para pemuda dan terpelajar saat itu. Mereka tidak hanya
berasal dari satu suku bangsa, akan tetapi mereka berasal dari suku-suku bangsa
yang ada di Hindia-Belanda pada waktu itu. Begitu pula dalam hal keyakinan
mereka sadar bahwa mereka memang berbeda, akan tetapi mereka yakin, bahwa
mereka mempunyai tujuan yang mulia, yaitu mencapai Indonesia sebagai negara
merdeka dan berdaulat.
Bagi
pemuda-pemuda saat itu perbedaan pendapat adalah hal yang biasa, bukan untuk
dipertentangkan dan dipermasalahkan. Catatan sejarah menunjukkan, bahwa pada
awal abad ke-20 keindonesiaan digagas oleh kalangan pemuda terpelajar. Pada
tahun 1922, De Indishe Vereeninging,
yaitu suatu perkumpulan mahasiswa Hindia (nama sebelum menjadi Indonesia) yang
berada di negeri Belanda, nama itu kemudian berubah menjadi Indonesische Vereeninging. Ketika nama
Indonesia itu digunakan oleh para kaum muda terpelajar Hindia yang sedang
belajar di negeri Belanda konsep Indonesia menjadi sebuah konsep politik. Maka,
organisasi yang mulanya merupakan perkumpulan sosial kemahasiswaan berubah
menjadi organisasi yang memperlihatkan kecenderungan politik. Jadi penggunaan
nama Indonesia bukan hanya sekedar didasarkan atas kondisi geografis dan
antropologis saja. Pada tahun 1923, perkumpulan itu berubah lagi menjadi
Perhimpoenan Indonesia (PI). Jelaslah bahwa keinginan kuat para pelajar itu
untuk menampilkan diri sebagai kekuatan nasionalisme Indonesia. Kenyataan itu
menunjukkan hasrat kuat para pemuda itu untuk memperjuangkan tercapainya
kemerdekaan Indonesia yang demokratis. Begitu pula dengan majalah organisasi
itu juga diubah namanya dari Hindia
Poetera menjadi Indonesia Merdeka (baca
lebih lanjut Sartono Kartodirdjo: Sejak
Indische sampai Indonesia :2005).
Sementara itu, pemuda terpelajar di Indonesia menyebarkan
paham kebangsaan, mereka mengekspresikan melalui berbagai cara, antara lain
melalui surat kabar, karya sastra, rapat umum, lagu-lagu, serikat buruh, maupun
perlawanan terhadap kolonialisme. Pada saat itulah para pelajar dan pemuda
terdidik itu mempunyai pandangan dengan cara tersendiri terhadap dunia mereka.
Cara pandangan baru itulah yang membuka wawasan dan politik modern yang menjadi
cikal bakal pergerakan bangsa dan tumbuhnya nasionalisme saat itu. Hal itu
ditandai dengan munculnya berbagai organisasi pergerakan baik lokal maupun
nasional. Berbagai organisasi itu misalnya Sarekat Prijaji, Sarekat Dagang
Islam, dan National-Indische Partij,
di Jawa ada organisasi pemuda Budi Utomo, Tri Koro Dharmo diubah menjadi Jong
Java. Munculnya organisasi pemuda itu mendorong pemuda-pemuda dari suku bangsa
lain itu juga mendirikan organisasi kepemudaan seperti Jong Sumatranen Bond,
Jong Batak, Jong Ambon, dan Jong Minahasa. Kapankah organisasi-organisasi
pemuda itu mulai berazaskan kebangsaan dan nasionalisme itu bangkit?. Pada
uraian berikut ini kita akan belajar tentang pergerakan kebangsaan Indonesia,
serta dinamikanya dari pandangan lokal hingga tumbuhnya kesadaran nasional.
A. Menganalisis Tumbuhnya Ruh Kebangsaan dan Nasionalisme
surat kabar Hindia Putera |
Koran di era itu memiliki makna yang strategis dalam perjuangan mencapai kemerdekaan. Koran dapat memuat ide-ide pembaruan, ide-ide nasionalisme sehingga bisa menggelorakan semangat kebangsaan pada setiap jiwa rakyat Indonesia. Pada uraian berikut ini kita akan mengkaji tentang tumbuhnya ruh kebangsaan Indonesia yang tidak dapat dilepaskan dari peran pers, juga adanya gerakan pembaruan dalam Islam dan sudah tentu sangat terkait dengan bagaimana kebijakan Pemerintah Belanda .
1. Politik Etis
Memasuki
abad ke-20, kebijakan pemerintah kolonial Belanda mendorong untuk menguasai
seluruh wilayah Nusantara. Kebijakan itu diikuti dengan penaklukkan terhadap
wilayah-wilayah yang belum dikuasai, jika perlu dengan pendekatan militer.
Daerah-daerah kolonial yang masih terpisah disatukan dalam penerapan
adminstrasi baru yang berpusat di Batavia, yang disebut Pax Neerlandica. Pemerintah kolonial pun melakukan
perjanjian-perjanjian. Selanjutnya sistem administrasi tradisional berubah ke
sistem administrasi modern. Suatu sistem yang mana pemerintahan mengambil alih
sistem pemimpin pribumi ke sistem birokrasi kolonial. Kebijakan ini ditetapkan
untuk mengambil posisi penting dari pemimpin daerah ke tangan Belanda. Sistem
itu memisahkan pemimpin pribumi dari akar hubungan tradisonal dengan rakyatnya,
mereka kemudian dijadikan pegawai dalam birokrasi kolonial.
Sementara itu pemerintah kolonial menerapkan kebijakan
ekonomi yang berbasis pada sistem kapitalisme Barat melalui komersialisasi,
sistem moneter, dan komoditas barang. Sistem itu didukung dengan kebijakan
pajak tanah, sistem perkebunan, perbankan, perindustrian, perdagangan, dan pelayaran.
Dampak dari itu kehidupan rakyat Hindia Belanda mengalami penurunan
kesejahteraan. Kebijakan itu mendapat kritik dari politikus dan intelektual di
Hinda Belanda, yaitu C.Th. Van Deventer dalam tulisannya yang berjudul “Een Eereschlud’
(hutang kehormatan), yang dimuat di majalah
De Gids (1899). Dalam tulisannya
Van Deventer mengatakan bahwa pemerintah Hindia Belanda telah mengeksploitasi
wilayah jajahannya untuk membangun negeri mereka dan memperoleh keuntungan yang
besar. Kritikan itu mendapat perhatian dari berbagai kalangan, beberapa
kelompok yang sependapat dengan Van Deventer mengungkapkan perlunya suatu
kewajiban moral bagi Belanda untuk memberikan balas budi. Keuntungan yang
didapat dari hasil ekploitasi di tanah Hindia harus dikembalikan. Untuk itulah
perlu dilakukan perbaikan kesejahteraan penduduk melalui berbagai bidang
kehidupan, pendidikan, dan besarnya partisipasi masyarakat dalam mengurus
pemerintahan. Kritik-kritik itu mendapat perhatian serius dari pemerintah
Belanda. Ratu Wilhelmina kemudian mengeluarkan suatu kebijakan baru bagi
masyarakat Hindia Belanda yaitu meningkatkan kesejahteraan rakyat. Kebijakan
baru itu adalah Politik Etis.
Sekolah untuk Anak-anak Indonesia pada Masa Kolonial Hindia Belanda |
Awal abad ke-20, politik kolonial memasuki babak baru, yaitu era Politik Etis, yang dipimpin oleh Menteri Jajahan Alexander W.F. Idenburg yang kemudian menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda (1909-1916) Ada tiga program Politik Etis, yaitu irigasi, edukasi, dan trasmigrasi. Adanya Politik Etis membawa pengaruh besar terhadap perubahan arah kebijakan politik negeri Belanda atas negeri jajahan. Pada era itu pula muncul simbol baru yaitu “kemajuan”. Dunia mulai bergerak dan berbagai kehidupanpun mulai mengalami perubahan. Pembangunan infrastruktur mulai diperhatikan dengan adanya jalur kereta api Jawa-Madura. Di Batavia lambang kemajuan ditunjukkan dengan adanya trem listrik yang mulai beroperasi pada awal masa itu. Dalam bidang pertanian pemerintah kolonial memberikan perhatiannya pada bidang pemenuhan kebutuhan pangan dengan membangun irigasi. Di samping itu pemerintah juga melakukan emigrasi sebagai tenaga kerja murah di perkebunan-perkebunan daerah di Sumatera.
Zaman kemajuan ditandai dengan adanya surat-surat R.A. Kartini kepada sahabatnya Ny. R.M. Abendanon di Belanda, yang merupakan inspirasi bagi kaum etis pada saat itu. Semangat era etis adalah kemajuan menuju modernitas. Perluasan pendidikan gaya Barat adalah tanda resmi dari bentuk Politik Etis itu. Pendidikan itu tidak saja menghasilkan tenaga kerja yang diperlukan oleh negara, akan tetapi juga pada sektor swasta Belanda.
Adanya pendidikan gaya Barat itu membuka peluang bagi
mobilitas sosial masyarakat di tanah Hindia/Indonesia. Pengaruh pendidikan
Barat itu pula yang kemudian memunculkan sekelompok kecil intelektual bumiputra
yang memunculkan kesadaran, bahwa rakyat bumiputra harus mampu bersaing dengan
bangsa-bangsa lain untuk mencapai kemajuan. Golongan intelektual bumiputra itu
disebut “priyayi baru” yang sebagian besar adalah guru dan jurnalis di
kota-kota. Pendidikan dan pers itu pula menjadi untuk menyalurkan ide-ide dan
pemikiran yang ingin membawa kemajuan, dan pembebasan bangsa dari segala bentuk
penindasan dari kolonialisme Belanda. Mereka tidak memandang Jawa, Sunda,
Minangkabau, Ambon, atau apa pun karena mereka adalah bumiputra. Pengalaman
yang mereka peroleh di sekolah dan dalam kehidupan setelah lulus sangatlah
berbeda dengan generasi orang tua mereka. Para kaum muda terpelajar inilah yang
kemudian membentuk kesadaran “nasional” sebagai bumiputra di Hindia, dan
bergerak bersama “bangsa-bangsa” lain dalam garis waktu yang tidak terhingga
menuju modernitas, suatu dunia yang memberi makna baru bagi kaum pelajar
terdidik saat itu. Mereka tentunya tidak mengenal satu sama lain di Batavia,
Bandung, Semarang, Solo, Yogyajakarta, Surabaya, dan seluruh wilayah Hindia.
Mereka saling berbagi pengalaman, gagasan, dan asumsi tentang dunia, Hindia,
dan zaman mereka. Pemerintah Kolonial Belanda juga membentuk Volksraad (Dewan Rakyat) yang sejumlah
tokoh Indonesia bergabung di dalamnya. Mereka itu penggerak wacana perubahan di
lembaga tersebut.
2. Pers Membawa Kemajuan
Pada
awal abad ke-20, para priyayi baru menuangkan gagasannya melalui pers (media
cetak) mengenai isu-isu perubahan. Isu-isu yang dipopulerkan, yaitu terkait
dengan peningkatan status sosial rakyat bumiputra dan peningkatan kehidupan di
bidang sosial, ekonomi, budaya, dan politik. Kata kemajuan menjadi populer pada
saat itu. Kemajuan saat itu diartikan dengan pendidikan, pencerahan, peradaban,
modernisasi, dan kesuksesan hidup. Pers merupakan sarana berpartisipasi dalam
gerakan emansipasi, kemajuan dan pergerakan nasional. Pada dekade itu ditandai
dengan jumlah penerbitan surat kabar berbahasa Melayu yang mengalami
peningkatan. Orang-orang pertama yang aktif dalam dunia pers saat itu adalah orang
Indo seperti H.C.O. Clockener Brousson dari Bintang
Hindia, E.F Wigger dari Bintang Baru,
dan G. Francis dari Pemberitaan Betawi.
Pada abad itu penerbit Tionghoa mulai bermunculan. Para penerbit Tionghoa
itulah yang menjadikan pertumbuhan surat kabar berkembang pesat. Dalam
perkembangan kemudian kaum bumiputra juga mengambil bagian. Mereka mulanya
magang pada jurnalis Indo dan Tionghoa, kemudian peran mereka meningkat sebagai
redaktur surat kabar orang Indo dan Tionghoa. Bermula dari itulah para bumiputra
itu mendirikan sendiri penerbitan surat kabar mereka. Penerbit bumiputra
pertama di Batavia yang muncul pada pertengahan abad ke-20 adalah R.M.
Tirtoadisuryo, F.D.J Pangemanan, dan R.M. Tumenggung Kusuma Utaya, sebagai
redaktur Ilmoe Tani, Kabar Perniagaan, dan Pewarta Prijaji. Di Surakarta
R.Dirdjoatmojo menyunting Djawi Kanda yang diterbitkan oleh Albert Rusche &
Co., Di Yogjakarta Dr. Wahidin Sudirahusada sebagai redaktur jurnal berbahasa
Jawa, Retnodhoemillah diterbitkan
oleh Firma H. Buning.
Bermunculannya
media cetak itu segera diikuti oleh sejumlah jurnalis bumiputra lainnya. Mereka
adalah R. Tirtodanudja dan R. Mohammad Jusuf. Keduanya adalah redaktur Sinar Djawa, yang diterbitkan Honh Thaij
& Co. Djojosudiro, redaktur Tjahaja
Timoer yang diterbitkan di Malang oleh Kwee Khaij Khee. Di Bandung Abdull
Muis sebagai redaktur Pewarta Hindia
yang diterbitkan oleh G. Kolff & Co. Para jurnalis bumiputra itulah yang
memberikan wawasan dan ”embrio kebangsaan” melalui artikel, komentar-komentar
mereka dalam surat pembaca, dan mengungkapkan solidaritas diantara mereka dan
para pembaca yang sebagian besar adalah kaum muda terpelajar. Misalnya Pewarta
Prijaji yang disunting oleh R.M.T. Kusumo Utaya seorang Bupati Ngawi, yang
menyerukan persatuan di kalangan priyayi. Mereka juga mendapatkan dukungan dari
simpatisan dan pelanggan dengan 15 cabang di Jawa, Madura, dan Sumatera (lebih
lanjut baca Takashi Shiraishi dalam Zaman
Bergerak : Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926).
Sementara
itu pergerakan kebudayaan “cetak” mulai masuk di beberapa kota kolonial lain,
seperti Surabaya, Padang, dan Semarang. Kapitalisme cetak mempermudah kaum
terdidik untuk memperoleh informasi. Pada tahun 1901, sebuah majalah bulanan Insulinde diterbitkan atas kerjasama
para terpelajar di Kota Padang dengan guru-guru Belanda di sekolah raja (Kweekschool) Bukittinggi, terutama van
Ophuysen, ahli bahasa Melayu. Ketua redaksi majalah itu adalah Dja Endar Muda,
seorang wartawan keturunan Tapanuli yang juga telah menerbitkan surat kabar Pertja Barat dan majalah bulanan
berbahasa Batak, Tapian Nauli.
Majalah Insulinde itu disebarkan ke
seluruh Sumatera dan Jawa. Majalah itulah yang pertama memperkenalkan slogan “kemajuan”
dan “zaman maju”. Satu diantara artikel menarik yang dimuat dalam Insulinde adalah
kisah kemenangan Jepang, negara “kecil” yang menang mengalahkan Tiongkok “yang
besar”. Kemenangan Jepang itu disebabkan keberhasilannya dalam memasuki “dunia
maju”. Ulasan tentang perkembangan yang terjadi di “dunia maju” secara terbuka
mengajak para pembaca untuk ikut serta dalam zaman “kemajuan”. Majalah itu
tidak saja memuat artikel tentang bangsa Hindia Belanda, akan tetapi juga
memuat tentang berita Asia dan Eropa.
Dr. Abdul Rivai |
Sementara
itu, tokoh muda dr. Abdul Rivai yang baru datang dari Belanda menganjurkan pada
tokoh muda di Hindia untuk membentuk sebuah organisasi. Dalam
tulisan-tulisannya dalam Bintang Hindia ia selalu memuat tentang “kemajuan” dan “dunia maju”. Rivai menggolongkan masyarakat menjadi
tiga golongan, yaitu kaum kolot, kaum kuno, dan kaum muda. Menurut Rivai, kaum
muda adalah orang yang senantiasa ingin mendapatkan harga diri melalui
pengetahuan dan ilmu. Untuk mencapai kemajuan dan terwujudnya dunia maju, Rivai
menganjurkan agar ada organisasi bernama Persatuan Kaum Muda didirikan dengan
cabang di semua kota-kota penting di Hindia.
Seorang
pensiunan “dokter Jawa” yaitu Wahidin Soedirohoesodo tertarik dengan tulisan
Rivai. Saat itu ia sebagai editor majalah berbahasa Jawa, Retnodhumilah, dalam tulisan itu disarankan agar kaum lanjut usia
dan kaum muda membentuk organisasi
pendidikan yang bertujuan untuk memajukan masyarakat. Gagasan Wahidin akhirnya
terwujud ketika para pelajar “Stovia”, Sekolah dokter Jawa, mendirikan suatu
organisasi bernama Boedi Oetomo, pada 2 Mei 1908 (untuk lebih jelasnya dapat
dibaca dalam Taufik Abdullah dan A.Blapian (ed), 2012).
Beberapa surat kabar yang kemudian membawa kemajuan bagi
kalangan pribumi yaitu Medan Prijaji
( 1909-1917) dan juga terbitan wanita pertama yang terbit berkala yaitu Poetri Hindia (1908-1913). Seorang
editornya yang dikenal yaitu R.M. Tirtoadisurya memuat tentang tulisannya,
bahwa untuk memperbaiki status dagang “pedagang bangsa Islam”, perlu ada
organisasi yang anggota-anggotanya terdiri atas para pedagang sehingga “orang
kecil tidak bisa dikalahkan karena mereka bersatu”. Ia kemudian dikenal sebagai
pendiri Sarekat Dagang Islamijah atau lebih dikenal dengan Sarekat Dagang Islam
(SDI). Pada perkembangannya SDI mengubah dirinya menjadi Sarekat Islam (SI)
dengan pimpinan Haji Samanhudi. Begitulah semangat nasionalisme tumbuh dan
dibangun melalui tulisan di media cetak. Begitu pula di tanah Sumatera,
gagasana untuk melawan sistem pemerintahan kolonial ditunjukkan melalui surat
kabar Oetoesan Melajoe (1913). Juga
untuk kemajuan kaum perempuan diterbitkan majalah Soenting Melajoe, yang berisi tentang panggilan perempuan untuk
memasuki dunia maju tanpa meninggalkan peranannya sebagai sendi kehidupan
keluarga Minangkabau. Sementara itu anak-anak muda berpendidikan Barat di
Padang menerbitkan majalah perempuan Soeara
Perempuan (1918), dengan semboyannya Vrijheid
(kemerdekaan) bagi anak perempuan untuk ikut dalam kemajuan tanpa hambatan adat yang mengekang.
Wacana kemajuan terus merebak melalui pers. Pers bumiputra
juga mempunyai fungsi untuk memobilisasi pergerakan nasional pada saat itu.
Harian Sinar Djawa, memuat tentang
perlunya rakyat kecil untuk terus menuntut ilmu setinggi mungkin. Koran itu
memuat dua hal penting, yaitu tentang “bangsawan usul” dan “bangsawan pikiran”.
Bangsawan usul adalah mereka yang mempunyai keturunan dari keluarga raja-raja
dengan gelar bendara, raden mas, raden, raden ajeng, raden ngabei, raden ayu,
dll. Bangsawan pikiran adalah mereka yang mempunyai gelar meester, dokter, dsb,
yang diperoleh melalui pendidikan.
Surat
kabar yang paling mendapat perhatian pemerintah kolonial saat itu adalah De Express. Surat kabar itu memuat
berita-berita propaganda ide-ide radikal dan kritis terhadap sistem
pemerintahan kolonial. Puncaknya saat Cipto Mangunkusumo, Suwardi Surjaningrat,
dan Abdul Muis mendirikan Comite tot
Herdenking van Nederlands Honderdjarige Vrijheid (Panitia untuk Peringatan Seratus Tahun
Kemerdekaan Belanda dari Perancis), yang kemudian disebut dengan Komite
Boemipoetera (1913). Tujuan panitia itu untuk mengumpulkan dana dari rakyat
untuk mendukung perayaan kemerdekaan Belanda. Di balik itu tujuan panitia
adalah mengkritik tindakan pemerintah kolonial yang merayaan kemerdekaannya di
tanah jajahan dengan mencari dana dukungan dari rakyat.
Kritik tajam yang ditujuan oleh Suwardi Surjaningrat dengan
menulis di brosur yang berjudul Als Ik
Eens Nederlander Was ( Seandainya Saya Menjadi Seorang Belanda). Pemerintah
Kolonial menilai tulisan itu dapat menghasut rakyat untuk melawan pemerintah.
Pada 30 Juli 1913, polisi Belanda menangkap Cipto Mangunkusumo dan Suwardi
Suryaningrat. Kemudian menyusul Adbul Moeis sebagai pembaca naskah itu dalam
surat kabar De Preanger Bode. Juga Widnjadisastra sebagai editor Kaoem Moeda, karena telah mencetak dan menyebarluaskan tulisan itu. Pemerintah
kolonial selanjutkan memutuskan “Tiga Serangkai” itu untuk ditangkap, yaitu
Cipto Mangunkusumo, Suwardi Suryaningrat, dan Douwes Dekker, untuk diasingkan
ke luar Jawa. Cipto mulanya diasingkan ke Bangka, kemudian ke Belanda.
Seorang
jurnalis bumiputera yang gigih memperjuangkan kebebasan pers dikenal dengan
nama Semaun. Ia mengkritik beberapa kebijakan kolonial melalui Sinar Hindia. Kritikannya mengenai haatzaai artikelen, yang menurutnya
sebagai sarana untuk membungkam rakyat dan melindungi kekuasaan kolonial dan kapitalis asing. Atas kritikannya
itulah ia diadili dan dijebloskan ke penjara. Seorang aktivis dan juga
jurnalis, Marco Kartodikromo dikenal dengan kritikannya yang tajam terhadap
program Indie Weerbaar dalam bentuk
syair. Kritik tajam Marco itu ditujukan pada dewan kota yang sebagian besar
adalah orang Eropa.
3. Modernisme dan Reformasi Islam
Semangat kebangkitan juga didorong oleh gerakan modernis Islam. Semangat modernisme itu berlandaskan pada pencarian nilai-nilai yang mengarah pada kemajuan dan pengetahuan. Modernisme diartikan sebagai cara berpikir dengan peradaban Barat, dengan merujuk upaya mengejar ketertinggalan melalui pencarian mendasar etik kepada Islam untuk kebangkitan politik dan budaya. Reformasi biasanya diartikan sebagai pembaruan melalui pemurnian agama. Reformasi agama (Islam) diartikan sebagai gerakan untuk memperbaharui cara berpikir dan cara hidup umat menurut ajaran yang murni.
Gerakan femormasi Islam telah dirintis di Sumatera Barat pada abad ke-19 yang berlanjut ke Jawa dan berbagai daerah lainnya. Jika pada abad ke-19, gerakan itu lebih menekankan pada gerakan salafi melawan kaum adat, pada abad ke-20 lebih menekankan pada pencarian etik modernitas dari dalam melawan tradisonalisme dan kemunduran umat Islam, serta menghadapi Barat yang menjajah mereka. Pada awal abad ke-20, empat ulama muda Minangkabau kembali dari menuntut ilmu di Mekah. Mereka
adalah Syekh Muhammad Taher Jamaluddin (1900), Syekh Muhammad Jamil Jambek
(1903), Haji Abdul Karim Amrullah (1906), dan Haji Abdullah Akhmad (1899).
Mereka adalah murid Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, seorang imam besar
Mazhab syafi’i di Masjid Mekah yang berasal dari Minangkabau. Mereka itu
kembali ke Minangkau dengan membawa pemikiran baru. Berbekal ilmu
pengetahuannya itu mereka merancang perubahan di Minangkabau.
Perintis
pembaruan itu adalah Syekh Taher Jamalludin yang sebagaian besar pengalamannya
berasal dari Asia Barat. Majalah Al Imam
adalah sarana yang mereka gunakan untuk menyebarkan gerakan pembaruan keluar
dari Minangkabau. Di samping itu Al-Imam
juga memuat ajaran agama dan peristiwa-peristiwa penting dunia. Tokoh yang
kemudian muncul adalah H. Abdullah Akhmad yang mendapat pendidikan di Mekah,
selanjutnya mendirikan sekolah dasar di Padang (1909). Ia mendirikan majalah Al-Munir yang menjebarkan agama Islam
yang sesungguhnya dan terbit di Padang tahun 1910-1916.
Di
Padang Panjang, Haji Abdul Karim Amrullah mulai menumbuhkan kesadaran akan
perlunya perubahan metode pengajaran dan sistem pendidikan tradisonal menjadi
lebih modern seperti sekolah Belanda. Sementara itu, berdiri pula Sekolah
Diniyah di Padang (1915). Pendirinya adalah Zainuddin Labai. Sekolah itu
memberikan pengajaran umum. Sekolah itu merupakan sekolah agama modern.
Tahun1923, Rahmah, adik Zainuddin Labai mendirikan Sekolah Diniyah Puteri.
Sekolah itu merupakan sekolah agama putri pertama di Indonesia. Berdirinya
sekolah putri di tanah Minangkabau membuktikan bahwa sistem matrilinial yang
berlaku dalam tradisi kekerabatan Minangkabau mempunyai pengaruh positif
terhadap kemajuan kaum perempuan.
KESIMPULAN
- Sistem pemerintahan kolonial yang ingin mencapai misinya dengan Pax Neerlandica di seluruh daerah yang menghasilkan pajak. Untuk melakukan hal itu dilakukan kebijakan baru dengan bantuan pemerintah pribumi untuk memberlakukan sistem pajak baru dan sistem kerja paksa. Kebijakan itu mendapat perlawanan dari Raja/ Sultan di tanah Hindia.
- Kritis keras muncul dari politikus dan intelektual Belanda C.H.Van Deventer, terhadap sistem pemerintahan kolonial waktu itu. Kritik itu mendapat perhatian dari pemerintah Belanda. Kemudian dibuatlah kebijakan meningkatkan kesejahteraan rakyat yang dikenal dengan politik etis. Politik etis ini meliputi bidang pendidikan, pertanian dan emigrasi.
- Bidang pendidikan membuka wawasan bagi kaum muda terpelajar. Mereka adalah golongan baru yang membawa ide-ide pada kesadaran kebangsaan. Sarana komunikasi dan transportasi adalah hal penting yang menghubungkan para kaum terpelajar untuk membentuk suatu ideologi kebangsaan.
- Bidang pendidikan pula yang mendorong perubahan sosial masyarakat saat itu, melalui pendidikan tidak saja menciptakan tenaga-tenaga profesional, akan tetapi juga mendorong gerakan kebangsaan
B. Menganalisis Perjuangan Organisasi Pergerakan Kebangsaan
Perhatikan kutipan dari buku Van Miert berikut ini:
“Pada 31 Oktober 1920 anggota dari dua perhimpunan pelajar terbesar di Hindia Belanda, Jong Java dan Jong Sumatranen Bond berkumpul di sebuah ruangan di Batavia untuk mendengarkan pidato P. Fournier, seorang pimpinan gerakan teosofi Hindia. Itu adalah pertemuan pertama Studiegroep Politiek Wetenshappen (Kelompok Studi Ilmu Politik)...” Kepala yang dingin dan hati yang gembira”. Begitulah Fournier menyimpulkan kualitas-kualitas terpenting yang harus dipunyai seorang pemimpin politik. Hati yang gembira maksudnya adalah cinta yang menggelora terhadap tanah air, hasrat yang menyala-nyala untuk bekerja demi kemajuan bangsa.” Begitulah jiwa politik yang diharapkan oleh Fournier kepada para pelajar. Bagi Fournier, dalam sosok seorang politikus diperlukan kepala yang dingin, jangan sampai terbawa oleh situasi dan kondisi yang ada oleh pergolakan politik yang ada pada jamannya. (Kamu dapat membaca lebih lanjut Hans van Miert, 2003).
Bagi pemerintah kolonial keberhasilan IP mendapat simpatisan dari masyarakat merupakan suatu yang berbahaya. Organisasi itu kemudian dinyatakan sebagai organisasi terlarang dan berbahaya (pertengahan 1913). Pemimpinnya kemudian ditangkap dan dibuang. Douwes Dekker diasingkan ke Timor, Kupang. Cipto Mangunkusumo dibuang ke Bkamu. Suwardi Suryaningrat dibuang ke Bangka. Tiga Serangkai itu kemudian dibuang ke Negeri Belanda. Pembuangan Tiga Serangkai itu membawa dampak luas, tidak saja di Hindia Belanda, akan tetapi juga di Negara Belanda. Di Hindia Belanda, keberadaan mereka semakin mendorong bumiputera untuk memperjuangkan hak-haknya. Sementara di Negeri Belanda menjadi perdebatan politik di kalangan Dewan Perwakilan Rakyat Belanda tentang pergerakan rakyat Indonesia.
‘Aisyiyah yang masih eksis sampai kini didirikan
sebagai pembaru peran kaum perempuan, terutama di bidang keagamaan. Ketika ‘Aisyiyah
berdiri, perempuan tidak mendapatkan akses pendidikan dan kemasyarakatan karena
dianggap tidak perlu mengenyam pendidikan, apalagi mempunyai peran
kemasyarakatan. ‘Aisyiyah berpendapat bahwa perempuan dan laki-laki sama-sama
mempunyai kewajiban untuk mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran,
termasuk melalui bidang pendidikan.
“Pada 31 Oktober 1920 anggota dari dua perhimpunan pelajar terbesar di Hindia Belanda, Jong Java dan Jong Sumatranen Bond berkumpul di sebuah ruangan di Batavia untuk mendengarkan pidato P. Fournier, seorang pimpinan gerakan teosofi Hindia. Itu adalah pertemuan pertama Studiegroep Politiek Wetenshappen (Kelompok Studi Ilmu Politik)...” Kepala yang dingin dan hati yang gembira”. Begitulah Fournier menyimpulkan kualitas-kualitas terpenting yang harus dipunyai seorang pemimpin politik. Hati yang gembira maksudnya adalah cinta yang menggelora terhadap tanah air, hasrat yang menyala-nyala untuk bekerja demi kemajuan bangsa.” Begitulah jiwa politik yang diharapkan oleh Fournier kepada para pelajar. Bagi Fournier, dalam sosok seorang politikus diperlukan kepala yang dingin, jangan sampai terbawa oleh situasi dan kondisi yang ada oleh pergolakan politik yang ada pada jamannya. (Kamu dapat membaca lebih lanjut Hans van Miert, 2003).
1. Organisasi Awal Pergerakan
Pada awal abad ke-20, di Nusantara muncul berbagai kelompok
dan organisasi yang memiliki konsep nasionalisme, seperti Sarekat Dagang Islam
(kemudian menjadi Sarekat Islam), Budi Utomo (BU), Jong Java, Jong Celebes,
Jong Minahasan, Jong Sumatranen Bond, dan lainnya. Munculnya
organisasi-organisasi itu mendanai fase perubahan perlawanan terhadap
pemerintah kolonial Belanda. Kalau sebelumnya berupa perlawanan fisik
kedaerahan menjadi pergerakan nasional yang bersifat modern.
Organisasi-organisasi itu mengusung tujuan yang sama, yakni untuk lepas dari
penjajahan.
a. Budi Utomo
Boedi
Oetomo (BO) atau Budi Utomo (BU) merupakan pergerakan nasional yang didirikan
pada tanggal 20 Mei 1908, di Jakarta. Organisasi ini dirintis oleh dr. Wahidin
Sudirohusodo. BU didirikan dengan
tujuan untuk menggalang dana untuk membantu anak-anak bumiputra yang kekurangan
dana. Namun ide itu kurang mendapat dukungan dari Kaum Tua. Ide dr. Wahidin itu
kemudian diterima dan kembangkan oleh Sutomo. Seorang mahasiswa School tot Opleiding voor Inlandsche Arsten
(STOVIA). Sutomo kemudian dipilih sebagai ketua organisasi itu. Sebagian besar
pendiri BU adalah pelajar STOVIA, seperti Sutomo, Gunawan Mangunkusumo, Cipto
Mangunkusumo, dan RT Ario Tirtokusumo. Pada tanggal 29 Agustus 1908, dr.
Wahidin Sudirohusodo mendirikan BU di Yogyakarta.
Para tokoh pendiri BU berpendapat bahwa untuk mendapatkan
kemajuan, maka pendidikan dan pengajaran harus menjadi perhatian utama.
Organisasi itu mempunyai corak sebagai organisasi modern, yaitu mempunyai
pimpinan, ideologi dan keanggotaan yang jelas. Corak baru itu kemudian diikuti
oleh organisasi-organisasi lain yang membawa pada perubahan sosial-politik.
Organisasi BU bersifat kooperatif terhadap pemerintah kolonial Belanda. BU
bersifat tidak membedakan agama, keturunan, dan jenis kelamin. Pada mulanya
organisasi ini orientasinya hanya sebatas pada kalangan priyayi, namun pancaran etnonasionalisme semakin terlihat saat
dilaksanakan kongres BU yang diselenggarakan pada 3-5 Oktober 1908, di
Yoyakarta. Dalam kongres itu dibahas tentang dua prinsip perjuangan, golongan
muda menginginkan perjuangan politik dalam menghadapi pemerintah kolonial,
sedangkan golongan tua mempertahankan cara lama yaitu perjuangan
sosio-kultural.
Perdebatan itu tidak saja menyangkut tujuan BU tetapi juga
pemakaian Bahasa Jawa dan Bahasa Melayu. Perdebatan juga menyangkut tentang
sikap menghadapi westernisasi. Radjiman berpendapat bahwa “Bangsa Jawa tetap
Jawa” dan menunjukkan identitasnya yang masih Jawasentris. Sementara Cipto
Mangunkusuma berpendapat bahwa bangsa Indonesia perlu memanfaatkan pengetahuan
Barat dan unsur-unsur lain sehingga dapat memperbaiki taraf kehidupannya. Cipto
Mangunkusumo juga berpendapat bahwa sebelum memecahkan masalah budaya perlu
diselesaikan masalah politik. Orientasi politik semakin menonjol di kalangan
muda kemudian mencari organisasi yang sesuai dengan mendirikan Sarekat Islam.
Dalam perkembangannya, meskipun ada kelompok muda yang radikal, tetapi kelompok
tua masih meneruskan cita-cita BU yang mulai disesuaikan dengan kondisi politik
pada saat itu. Pada waktu dibentuk Dewan Rakyat (Volksraad) pada tahun 1918, wakil-wakil BU duduk di dalamnya.
Pemerintah dengan demikian tidak menaruh curiga karena sifat BU yang moderat.
Seorang pimpinan BU yang menyaksikan rapat. Bupati mengeluh tentang mereka yang
hanya ingin mempertahankan kedudukannya sebagai bupati karena warisan,
sedangkan zaman mulai berubah. Agus Salim tidak lama setelah rapat Volksraad
dibuka, berharap agar kaum kuno atau golongan konservatif itu bukan merupakan
golongan suara yang dominan dalam dewan tersebut.
Pemerintah
Hindia Belanda mengakui BU sebagai organisasi yang sah pada Desember 1909.
Dukungan dari Pemerintah Hindia Belanda ini tidak lain sebagai bagian dari
pelaksanaan Politik Etis. Sambutan baik pemerintah inilah yang menyebabkan BU
sering dicurigai oleh kalangan bumiputera sebagai organ pemerintah. BU mulai
kehilangan wibawanya pada tahun 1935, organisasi itu bergabung dengan
organisasi lain menjadi Partai Indonesia Raya (Parindra). Namun demikian,
dengan segala kekurangannya BU telah mewakili aspirasi pertama rakyat Jawa ke
arah kebangkitan dan juga aspirasi rakyat Indonesia. Keberadaan BO memberikan
inspirasi untuk organisasi-organisasi modern lainnya, seperti Jong Sumatra,
Jong Ambon, Sedio Tomo, Muhammadiyah, dan lain-lain.
b. Sarekat Islam
Pada mulanya SI lahir karena adanya dorongan dari R.M.
Tirtoadisuryo seorang bangsawan, wartawan, dan pedagang dari Solo. Tahun 1909,
ia mendirikan perkumpulan dagang yang bernama Sarekat Dagang Islam (SDI).
Perkumpulan itu bertujuan untuk memberikan bantuan pada para pedagang pribumi
agar dapat bersaing dengan pedagang Cina. Saat itu perdagangan batik mulai dari
bahan baku dikuasai oleh pedagang Cina, sehingga pedagang batik pribumi semakin
terdesak. Kegelisahan Tirtoadisuryo itu diutarakan pada H. Samanhudi. Atas
dorongan itu H. Samanhudi mendirikan Sarekat Dagang Islam di Solo (1911). Pada
mulanya SI bertujuan untuk kesejahteraan sosial dan persamaan sosial. Mula-mula
SI merupakan gerakan sosial ekonomi tanpa menghiraukan masalah kolonialisme.
Jelaslah bahwa tujuan utama SDI adalah melindungi kegiatan
ekonomi pedagang Islam agar dapat terus bersaing dengan pengusaha Cina. Agama
Islam digunakan sebagai faktor pengikat dan penyatu kekuatan pedagang Islam
yang saat itu juga mendapat tekanan dan kurang diperhatikan dari pemerintah
kolonial. Sebagai perkumpulan dagang SDI kemudian berpindah ke Surabaya yang
merupakan kota dagang di Indonesia. SDI selanjutnya dipimpin oleh Haji Umar
Said Cokroaminoto. Cokroaminoto dikenal sebagai seorang orator yang cakap dan
bijak, kemampuannya berorator itu memikat anggota-anggotanya. Di bawah
kepemimpinannya diletakkan dasar-dasar baru yang bertujuan untuk memajukan
semangat dagang bangsa Indonesia. Disamping itu SDI juga memajukan rakyat
dengan menjalankan hidup sesuai ajarana agama dan menghilangkan paham yang keliru
tentang agama Islam. SDI kemudian berubah nama menjadi Sarekat Islam (SI) pada
tahun 1913.
Pada kongres SI yang pertama, tanggal 26 Januari 1913, dalam
pidatonya di Kebun Bintang Surabaya, ia menegaskan bahwa tujuan SI adalah
menghidupkan jiwa dagang bangsa Indonesia, memperkuat ekonomi pribumi agar
mampu bersaing dengan bangsa asing. Usaha di bidang ekonomi itu nampak sekali
dengan didirikannya koperasi di Kota Surabaya. Di Surabaya pula berdiri PT.
Setia Usaha, yang bergerak tidak saja menerbitkan surat kabar “Utusan Hindia”,
juga bergerak di bidang penggilingan padi dan perbankan. Usaha itu dimaksudkan
untuk membebaskan kehidupan ekonomi dari ketergantungan bangsa asing.
Rumah Cokroaminoto |
Dalam kurun waktu kurang dari satu tahun, SI sudah mempunyai
cabang di berbagai kota. Organisasi itu tumbuh menjadi besar. Kemajuan yang
dicapai oleh SI itu dianggap ancaman bagi pemerintah kolonial. Pemerintah
kemudian mengeluarkan peraturan untuk menghambat laju pertumbuhan SI, yaitu
cabang harus berdiri sendiri dan terbatas daerahnya. Pemerintah kolonial tidak
keberatan SI daerah mengadakan perwakilan yang diurus oleh pengurus sentral.
Kemudian dibentuklah Central Sarikat Islam (CSI) yang mengorganisasikan 50
cabang kantor SI daerah.
Ketika pemerintah kolonial mengijinkan berdirinya partai
politik, SI yang semula merupakan organisasi nonpolitik berubah menjadi partai
politik. SI mengirimkan wakilnya dalam Volksraad
(Dewan Rakyat) dan memegang peran penting dalam Radicale Concentratie, yaitu gabungan perkumpulan yang bersifat
radikal. Pemerintah kolonial yang dianggap cenderung kearah kapitalisme mulai
ditentang. SI juga aktif mengorganisasi perkumpulan buruh. Dalam suatu
pembukaan rapat Volksraad masih
terekam dalam ingatan bersama kaum terpelajar bumiputera tentang Janji November
(November Beloofte). Dalam pidatonya
itu Gubernur Jenderal Hindia Belanda mengatakan bahwa dalam zaman baru hubungan
pemerintah kolonial dan proses demokratisasi dimulai. Ia juga mengatakan, bila
saatnya kelak Volksraad menjadi
dewan rakyat, sebuah lembaga bagi rakyat Hindia untuk menyampaikan hasrat untuk merdeka. Namun Volksraad tidak pernah menjadi badan rakyat Hindia, Volksraad tetap menjadi alat bagi
pemerintah kolonial. Karena kecilnya capaian yang diraih oleh dewan rakyat
tersebut, mendorong Cokroaminoto dan Agus Salim untuk mengubah aliran politik
SI dari kooperatif ke nonkooperatif dan menolak ikut serta dalam setiap dewan
rakyat yang didirikan pemerintah.
Dalam kongres SI tahun 1914, yang diselenggarakan di Yogyakarta
Cokroaminoto dipilih sebagai pimpinan SI. Gejala konflik internal mulai
kelihatan dan kewibawaan CSI mulai berkurang. Dalam kondisi itu Cokroaminoto
tetap mempertahankan keutuhan dengan mengatakan kecenderungan untuk memisahkan
diri dari CSI harus dikutuk. Karena itu perpecahan harus dihindari, persatuan,
harus dijaga karena Islam sebagai unsur penyatu. Dalam kongres tahunan yang
diselenggrakan SI pada tahun 1916, Cokroaminoto menyampaikan dalam pidatonya
perlunya pemerintahan sendiri untuk rakyat Indonesia. Pada tahun itu kongres
pertama SI yang dihadiri oleh 80 anggota SI lokal dengan anggotanya sebanyak
36.000 orang. Kongres itu merupakan Kongres Nasional karena SI mempunyai
cita-cita supaya penduduk Indonesia menjadi satu nation atau suku bangsa, dengan kata lain mempersatukan etnis
Indonesia menjadi bangsa Indonesia.
Cokroaminoto dikenal sebagai seorang politikus dan orator
yang cerdas. Seorang pemuda yang tinggal indekost di rumahnya tertarik dengan
cara berpidatonya. Setiap hari pemuda itu sering mengikuti diskusi-diskusi yang
diadakan di rumah Cokroaminoto. Dia juga meniru cara Cokro berpidato dengan
berlatih pidato di balkon rumah Cokro. Kelak pemuda itu kita kenal sebagai
seorang orator yang cerdas dan menjadi presiden pertama Indonesia, Sukarno.
Sebelum kongres tahunan berikutnya (1917) di Jakarta, muncul
aliran revolusioner sosialis ditubuh SI, yang berasal dari SI Semarang yang
dipimpin oleh Semaun. Kongres tetap berjalan dan memutuskan bahwa azas
perjuangan SI adalah pemerintahan berdiri sendiri dan perjuangan melawan
penjajahan dari kolonialisme. Sejak itu Cokroamitono dan Abdul Muis mewakili SI
dalam Dewan Rakyat. SI semakin mendapat simpati dari rakyat. Keanggotaannya pun
semakin meningkat. Sementara itu pengaruh Semaun semakin menjalar ke tubuh SI.
Sejak itulah pengaruh sosial-komunis masuk ke dalam tubuh SI pusat maupun
cabang-cabangnya. Sebagai organisasi besar SI telah disusupi oleh orang-orang
yang menjadi anggota Indische Sociaal
Democratische Vereninging (ISDV),
seperti Semaun dan Darsono.
Pada kongres SI kelima tahun 1921, Semaun melancarkan kritik
terhadap kebijakan SI Pusat sehingga timbul perpecahan. Di satu pihak aliran
yang diinginkan SI adalah ekonomi dogmatis yang diwakili oleh Semaun, yang
kemudian dikenal dengan SI Merah beraliran komunis. Di sisi lain, SI
menginginkan aliran nasional keagamaan yang diwakili oleh Cokroaminoto, yang
kemudian dikenal dengan SI Putih. Rupanya gejala perjuangan dua aliran itu
tidak dapat dipersatukan. Agus Salim dan Abdul Muis mendesak agar ditetapkan
disiplin partai yang melarang keanggotaan rangkap. Usulan itu sangat
mengkhawatirkan Partai Komunis Indonesia (PKI). Oleh karena itu, Tan Malaka
meminta displin partai diadakan perkecualian bagi PKI. Namun demikian, disiplin
partai dapat diterima oleh kongres dengan suara mayoritas. Konsekuensi dari itu
Semaun dikeluarkan dari SI, karena tidak boleh rangkap anggota. Dengan
demikian, langkah pertama dari pengaruh PKI ke dalam tubuh SI telah dapat
diatasi.
Sementara itu dalam kongres di Madiun 1923, Central Sarekat
Islam (CSI) diganti menjadi Partai Sarekat Islam (PSI), dan memberlakukan
disiplin partai. Di lain pihak, SI yang mendapat pengaruh PKI menyatakan diri
bernaung dalam Sarekat Rakyat yang merupakan bentukan PKI. Azas perjuangan PSI
adalah nonkooperasi artinya oraganisasi itu tidak mau bekerjasama dengan
pemerintah kolonial. Namun organisasi itu mengijinkan anggotanya duduk di dalam
Dewan Rakyat atas nama pribadi. Kongres PSI tahun 1927 menegaskan azas
perjuangan organisasi itu adalah mencapai kemerdekaan nasional berdasarkan
agama Islam. Karena PSI menggabungkan diri dalam Permufakatan
Perhimpunan-Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI), nama PSI ditambah
dengan Indonesia untuk menunjukkan perjuangan kebangsaan. Selanjutnya
organisasi itu bernama Partai Sarikat Islam Indonesia (1927). Maka muncullah
pengaruh positif bagi perkembangan nasionalisme PSI. Perubahan nama itu
berkaitan dengan kehadiran Sukiman yang baru datang dari Belanda. Dalam
konggres Pemuda tahun 1928, PSII aktif mengambil bagian dalam PPPKI.
Banyaknya anggota muda dalam PSII membawa perbedaan paham
antara golongan muda dengan golongan tua. Pada 1932, timbulah perpecahan dalam
tubuh organisasi itu. Muncullah Partai Islam Indonesia (PARII) dibawah Dr.
Sukiman yang berpusat di Yogyakarta. Agus Salim dan A.M. Sangaji mendirikan
Barisan Penyedar yang berusaha menyadarkan diri sesuai dengan tuntutan zaman.
Persatuan dalam PSII tak dapat dipertahankan lagi, Sukiman kemudian memisahkan
diri yang diikuti oleh Wiwoho, Kasman Singodimedjo dll. Pada tahun 1940, Sekar
Maji Kartosiwiryo mendirikan PSII tandingan terhadap PSII yang dipimpin Abikusno Cokrosuyoso. Akibat
perpecahan itu PSII mengalami kemunduran. Peranannya sebagai Partai Islam
kemudian dilanjutkan oleh Partai Islam Indonesia yang merupakan lanjutan dari
PARII di bawah pimpinan Dr. Sukiman.
c. Indische Partij (IP)
Indische Partij merupakan organisasi politik yang
anggota-anggotanya berasal dari keturunan campuran Belanda-pribumi
(Indo-Belanda) dan orang asli pribumi. Munculnya organisasi ini karena adanya
sejumlah golongan orang Indo-Belanda yang dianggap lebih rendah kedudukannya
dari pada orang Belanda asli (totok). Secara hukum mereka itu masuk dalam
bangsa kelas I, karena kedudukan ayahnya yang orang Belanda. Namun demikian
secara sosial karena ibunya orang pribumi mereka anggap lebih rendah oleh
golongan Belanda totok. Sejumlah orang dari golongan Indo Belanda itu kemudian
mendirikan perkumpulan Indische Bond
(1898). E.F.E Douwes Dekker yang kemudian berganti nama Dr. Danudirjo
Setiabudhi berkeinginan untuk melanjutkan Indische
Bond sebagai organisasi politik yang kuat. Keinginan Douwes Dekker itu
semakin menguat saat ia bertemu dengan dr. Cipto Mangunkusumo dan Suwardi
Suryaningrat atau dikenal dengan Ki Hajar Dewantoro. Mereka kemudian dikenal
dengan “Tiga Serangkai”.
Douwes
Dekker adalah cucu Eduard Douwes Dekker atau Multatuli, seorang penulis Max Havelaar yang membela petani Banten
dalam masa Tanam Paksa. Ia seorang campuran ayah Belanda dan ibunya Indo.
Pengalaman hidupnya itulah yang menjiwai gerak politiknya. Kedekatannya dengan
buruh perkebunan kopi, saat ia menjadi pengawas perkebunan di Jawa, yang
menjadi alasan pemerintah Kolonial Belanda untuk memecatnya. Kondisi itulah
yang mendorong dia untuk mendirikan organisasi yang bertujuan untuk mendapatkan
kemerdekaan bagi Indie (istilah
Indonesia pada waktu itu). Bersama-sama dengan Suwardi Suryaningrat dan Cipto
Mangunkusumo maka dibentuklah Indische
Partij (IP) pada tahun 1912. Keinginan IP untuk mewujudkan cita-citanya itu
mendapat respon positif dari masyarakat saat itu. Keanggotaan IP berkembang
dengan pesat. Sebagai seorang koresponden surat kabar de Locomotief di Semarang, kemudian harian Soerabajasch Handelsblad, Bataviaasch
Nieuwsblad, dan akhirnya di majalah Het
Tijdschrift dan surat kabar De
Expres, Douwes Dekker dengan mudah dapat mengutarakan gagasannya. Ia
berpendapat hanya melalui kesatuan aksi melawan kolonial dapat mengubah sistem yang
berlaku. Ia juga berpendapat bahwa setiap gerakan politik haruslah mempunyai
tujuan akhir, yaitu kemerdekaan. Pendapat itulah yang kemudian ditulis dalam Het Tijdschrift dan De Expres. Kedekatan Douwes Dekker dengan pelajar STOVIA di Jakarta membuka peluang bagi
pemuda terpelajar saat itu untuk menuangkan gagasan-gagasan mereka dalam surat
kabar Bataviaasch Nieuwsblad, saat ia menjadi redaktur
surat kabar itu. Pengaruh BU juga mendasari
jiwa Douwes Dekker saat ia melakukan propaganda ke seluruh Jawa dari tanggal 15
September hingga 3 Oktober 1912. Dalam perjalanannya itu ia menyelenggarakan
rapat-rapat dengan elit lokal di Yogjakarta, Surakarta, Madiun, Surabaya,
Tegal, Semarang, Pekalongan, dan Cirebon. Dalam pertemuannya dengan para tokoh
elit BU itu Douwes Dekker mengajak membangkitkan semangat golongan bumiputera
untuk menentang penjajah. Kunjungannnya itu menghasilkan tanggapan positif di
kota-kota yang dikunjunginya. Dari itulah IP kemudian mendirikan 30 cabang
dengan jumlah anggota 730 orang. Kemudian terus bertambah hingga mencapai 6000
orang yang terdiri dari orang Indo dan bumiputera. Dalam Anggaran Dasar IP
disebutkan, untuk membangun patriotisme Bangsa Hindia kepada tanah airnya yang
telah memberikan lapangan hidup, dan menganjurkan kerjasama untuk persamaan
ketatanegaraan guna memajukan tanah air Hindia dan untuk mempersiapkan kehidupan
rakyat yang merdeka.
Tiga Serangkai IP Sebelum Menjalani Masa Pembuangan ke Belanda |
Bagi pemerintah kolonial keberhasilan IP mendapat simpatisan dari masyarakat merupakan suatu yang berbahaya. Organisasi itu kemudian dinyatakan sebagai organisasi terlarang dan berbahaya (pertengahan 1913). Pemimpinnya kemudian ditangkap dan dibuang. Douwes Dekker diasingkan ke Timor, Kupang. Cipto Mangunkusumo dibuang ke Bkamu. Suwardi Suryaningrat dibuang ke Bangka. Tiga Serangkai itu kemudian dibuang ke Negeri Belanda. Pembuangan Tiga Serangkai itu membawa dampak luas, tidak saja di Hindia Belanda, akan tetapi juga di Negara Belanda. Di Hindia Belanda, keberadaan mereka semakin mendorong bumiputera untuk memperjuangkan hak-haknya. Sementara di Negeri Belanda menjadi perdebatan politik di kalangan Dewan Perwakilan Rakyat Belanda tentang pergerakan rakyat Indonesia.
Karena alasan kesehatan, pada 1914 Cipto Mangunkusumo
dipulangkan ke Indonesia. Douwes Dekker dipulangkan pada 1917 dan Ki Hajar
Dewantoro dipulangkan pada 1918. Setelah IP dibubarkan dan pimpinannya menjalankan
pembuangan organisasi itu kemudian bernama Insulinde.
Namun organisasi itu kurang mendapat sambutan dari masyarakat. Kemudian tahun
1919 berganti nama menjadi Nationaal
Indische Partij (NIP). Ki Hajar Dewantoro kemudian mendirikan Perguruan
Taman Siswa (1922), sebagai badan perjuangan kebudayaan dan perjuangan politik.
2. Organisasi Keagamaan
Pada abad ke-19, muncul gerakan pembaruan di negara-negara
Islam, di Asia Barat. Pemikiran itu merupakan reaksi atas tantangan Barat.
Gerakan itu berpusat di Universitas Al Azhar, Kairo, Mesir dengan pimpinan
Jamaluddin Al Afghani. Pengaruh gerakan itu sampai di Indonesia dengan
tokoh-tokohnya Muhammad Iqbal dan Amir Ali. Reformasi Islam dapatlah dikatakan
sebagai gerakan emansipasi keagamaan, yaitu dengan perbaikan kaum muslim
melalui pendidikan yang sedapat mungkin sejajar dengan pendidikan barat. Di
Jakarta, tahun 1905, berdiri perkumpulan Jamiyatul khair yang mendirikan
sekolah dasar untuk masyarakat Arab. Sekolah modern itu disamping mengajarkan
agama juga mengajarkan pelajaran berhitung, sejarah, geografi, dll.
a. Muhammadiyah
Keberadaan organisasi BU telah memberikan inspirasi kepada
KH Ahmad Dahlan untuk mendirikan sebuah orgaisasi yang bersifat modern bernama
Muhammadiyah. Organisasi yang didirikan Ahmad Dahlan pada 18 November 1912,
bercirikan organisasi sosial, pendidikan, dan keagamaan. Salah satu tujuan
pendirian Muhammadiyah adalah memurnikan ajaran Islam. Islam seharusnya
bersumber pada Al-Quran dan Al-Hadis. Tindakannya adalah amar makruf
nahimunkar, atau mengajak hal yang baik dan mencegah hal yang jelek.
Lambang Muhammadiyah |
Pembaruan model Wahabiyah di Arab pun dimulai, antara lain
dengan manajemen organisasi modern, pendirian lembaga pendidikan dan dakwah
melalui media atau surat kabar.
Sistem pendidikan dibangunnya dengan cara sendiri, menggabungkan cara tradisional dengan
cara modern. Model sekolah Barat ditambah pelajaran agama yang dilakukan di dalam kelas. Dalam bidang kemasyarakatan
organisasi ini mendirikan rumah sakit, poliklinik, dan rumah yatim piatu yang
dikelola oleh lembaga-lembaga. Usaha di bidang sosial itu ditandai dengan
berdirinya Pertolongan Kesengsaraan Umum (PKU) pada tahun 1923. Itulah bentuk
kepedulian sosial dan tolong menolong sesama muslim.
Selanjutnya organisasi wanita juga dibentuk dengan nama ‘Aisyiah
di Yogyakarta, sebagai bagian dari organisasi wanita Muhammadiah. Nama ‘Aisyiyah
terinspirasi dari nama ‘Aisyah, istri nabi Muhammad yang dikenal taat beragama,
cerdas, dan rajin bekerja untuk mendukung ekonomi rumah tangga. Diharapkan
profil ‘Aisyah juga menjadi profil warga ‘Aisyiyah.
b. Nahdlatul Ulama (NU)
Logo NU |
Pembaruan Islam yang dilakukan di kota-kota mendorong kaum tua yang ingin mempertahankan tradisi mereka untuk mendirikan organisasi. Reaksi positif dari golongan tradisionalisme adalah lahirnya organisasi di kalangan mereka. Saat itu kebetulan bertepatan dengan akan dilakukannya Kongres Islam sedunia (1926), di Hijaz. Para ulama terkemuka saat itu kemudian membentuk lembaga yang bernama Jam’iyatul Nahdlatul Ulama (NU) pada 31 Januari 1926, di Surabaya. Sebagai pendiri
organisasi ini adalah Kyai Haji Hasyim Ashari dan sejumlah ulama lainnya.
Organisasi itu berpegang teguh pada Ahlusunnah wal jam’ah. Tujuan organisasi
ini terkait dengan masalah sosial, ekonomi, dan pendidikan.
Pada
dasarnya NU tidak berurusan dengan permasalahan politik. Dalam kongres yang
diadakan di Surabaya, 28 Oktober 1928, diambil keputusan untuk menentang kaum
reformis dan perubahan-perubahan yang dilakukan oleh Paham Wahabi. Pada
gilirannya pertentangan antara kaum reformis dan tradisionalis itu tidak saja
dapat dikurang, mereka bahkan melakukan kerjasama dalam melakukan perubahan. NU
termasuk organisasi yang giat mengubah tradisi berkhutbahnya dari berbahasa
Arab menjadi bahasa daerah yang dapat dimengerti oleh jamaahnya. Perubahan itu
kemudian dapat memberikan dampak yang positif bagi pengikutnya. Perubahan cara
berpikir pun mulai terlihat yang kemudian diikuti dengan perbaikan organisasi
secara lebih modern, lembaga-lembaga sosial mulai didirikan, seperti rumah
sakit, rumah yatim piatu, serta sekolah-sekolah. Yang tidak kalah penting dalam
konteks Indonesia adalah bangkitnya nasioalisme modern, yaitu nasionalisme non
kesukuan yang merupakan modal penting dalam terbentuknya negara-bangsa di
kemudian hari
Pada
tahun 1935, NU berkembang dengan pesat, NU sudah mempunyai 68 cabang dengan
jumlah anggota 6.700. Pada tahun 1938, dalam kongresnya di Menes, Pandeglang,
Banten, NU berusaha untuk dapat memperluas pengaruhnya ke seluruh Jawa. Kongres selanjut di Surabaya,
tahun 1940, diputuskan untuk mendirikan Wanita Nahdlatul Ulama Muslimat dan
pemudanya dibentuklah Organisasi Ansor.
c. Organisasi Islam lainnya
Gerakan Islam modern juga dilakukan oleh keturunan Arab di
Indonesia. Pada tahun 1914 didirikan perkumpulan Al-Irsyad oleh Syekh Ahmad
Surkati. Ia berkeinginan agar pendidikan agama Islam dilakukan sejak dini dan
diajarkan terus menerus. Juga dikembangkannya ukhuwwah Islamijah di antara pemeluk agama Islam. Banyaknya
keturunan Arab yang berdomisili di Indonesia, mendorong A.R. Baswedan untuk
mendirikan Partai Arab Indonesia pada tahun 1934. Mereka berpendapat bahwa
Indonesia sebagai tanah airnya, karena mereka dilahirkan dari seorang perempuan
Indonesia.
Di Sumatra Barat, berdiri Sumatra Thawalib. Organisasi itu
didirikan oleh kalangan pemuda Sumatra Barat, tahun 1918. Para pemuda itu
mendapat pendidikan Islam di Mekah. Mereka belajar pada Syekh Akhmad Khatib,
ketika kembali ke Sumatera Barat, mereka membawa pemikiran Islam modern yang
digerakan oleh Jamaluddin Al Afghani dan Muhammad Abduh. Organisasi itu
bertujuan untuk mengusahakan dan memajukan ilmu pengetahuan dan pekerjaan yang
berguna bagi kemajuan dan kesejahteraan menurut ajaran Islam. Kemudian
organisasi itu berubah menjadi Persatuan Muslim Indonesia yang memperluas
tujuan, yaitu Indonesia Merdeka dan Islam Jaya.
Organisasi itu khususnya bergerak dalam bidang pendidikan
dan politik. Secara cepat pengaruh organisasi itu meluas di Sumatera Barat.
Sebagai organisasi politik yang radikal, Thawalib kemudian dilarang untuk
beraktivitas oleh pemerintah pada tahun 1936.
Persatuan Tarbiyah Islamiyah, organisasi ini didirikan oleh
ulama-ulama di Sumatera Barat yang tidak setuju dengan Thawalib, antara lain
Syekh Sulaiman ar Rasuly. Kegiatan organisasi itu terutama bergerak di bidang
pendidikan, yaitu dengan mendirikan madrasah. Mereka juga membuat majalah
sebagai sarana menyalurkan gagasan dan ide-ide kemajuan, antara lain Suara Tarbiyatul Islamiyah (SUARTI), Al Mizan, dan Perti Bulanan. Setelah kemerdekaan organisasi itu bernama Partai
Tarbiyatul Islamiyah (PERTI). Organisasi yang sejalan dengan PERTI adalah
Persatuan Muslim Tapanuli (PMT). Organisasi PMT ini didirikan oleh Syekh Musthafa
Purba, baru pada tahun 1930 juga karena tidak sepaham dengan Thawalib.
Selanjutnya
di Bandung berdiri Persatuan Islam (PERSIS). Organisasi itu muncul sebagai
reaksi dari pembatasan gerak Jamiyatul Khair, pada tahun 1923 oleh Kiai Hasan.
Organisasi itu bertujuan untuk meningkatkan kesadaran beragama dan semangat
ijtihat dengan melakukan dakwah dan pembentukan kader melalui madrasah dan
sekolah.
Di
Kalimantan Selatan juga berdiri organisasi yang merupakan kelanjutan dari SI.
Usaha SI di bidang pendidikan dilanjutkan dengan mendirikan madrasah Daru
Salam. Madrasah ini dilengkapi dengan asrama dan sawah sebagai tempat untuk
belajar hidup mandiri para santri.
Kegagalan SI juga mendorong masyarakat Aceh untuk
melanjutkan perjuangan SI, maka didirikanlah Persatuan Ulama Seluruh Aceh
(PUSA). Organisasi itu dibentuk oleh Tengku M.Daud Beureureh pada 5 Mei 1939.
Tujuan organisasi itu meningkatan pendidikan agar terlaksana syari’at Islam
dalam masyarakat. Kemudian Nahdatul Wathan yang juga merupakan organisasi
kelanjutan SI di Nusa Tenggara barat. Organisasi itu juga bertujuan untuk
meningkatkan kesadaran beragama. Perhatian utama organisasi itu adalah
mendirikan lembaga-lembaga pendidikan.
d. Majelis Islam Ala Indonesia (MIAI)
MIAI
merupakan gabungan dari organisasi politik dan beberapa organisasi massa yang
bersifat moderat terhadap Belanda. Golongan Muslim yang tergabung dalam
organisasi memilih sikap nonkooperasi terhadap pemerintahan kolonial. Saat
Jepang berkuasa, organisasi ini mendapat kelonggaran menjalankan aktivitasnya,
sementara aktivitas organisasi yang lain dilarang. Karena MIAI dipandang
sebagai organisasi yang anti barat.
Suatu ketika seluruh pemuka agama diundang oleh Gunsikan,
Mayor Jenderal Okazaki ke Jakarta. Mereka diajak untuk bertukar pendapat.
Pertemuan itu menghasilkan MIAI harus menambah azas dan tujuannya. Kegiatan
MIAI menyelenggarakan badan amal dan peringatan hari keagamaan.
memuaskan pemerintah Jepang. Pada Oktober 1943 MIAI
dibubarkan dan diganti dengan Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi).
Masyumi dipimpin oleh K.H. Hasyim Asyari, K.H Mas Mansyur, K.H Farid Ma’aruf,
K.H Hasyim, Kartosudarmo, K.H Nachrowi, dan Zainal Arifin.
3. Organisasi pemuda
Di
samping organisasi keagamaan juga berkembang organisasi dan partai politik.
Organisasi itu masih bersifat kedaerahan dan menentang kolonialisme. Organisasi
itu mempunyai tujuan untuk kebangsaan dan cinta tanah air. Pada kalangan pemuda
berkembang berbagai gerakan untuk membebaskan tanah air dari penjajahan. Tri
Koro Dharmo, didirikan di Jakarta pada 7 Maret 1915. Organisasi itu didirikan
di Gedung Kebangkitan Nasional dengan ketua dr. Satiman Wiryosanjoyo.
Perkumpulan itu beranggotakan pemuda-pemuda Jawa. Dalam kongresnya di Solo
organisasi itu berubah nama Jong Java. Kemudian pada 1920-an Jong Java mulai
melakukan perubahan pandangan dari kedaerahan ke nasional. Setelah Sumpah
Pemuda ia berfusi dalam Indonesia Moeda.
Pemuda Sumatera juga mendirikan persatuan pemuda Sumatera
yang dikenal dengan Jong Sumatera Bond. Organisasi itu dirikan pada 1917, di
Jakarta. Persatuan itu bertujuan untuk memperkukuh hubungan antarpelajar yang
berasal dari Sumatera. juga menumbuhkan kesadaran di antara anggotanya, dan
membangkitkan kesenian Sumatera. Tokohnya adalah Moh. Hatta dan Moh. Yamin.
Perkumpulan yang lainnya dibentuk berdasarkan daerah yang
ada, antara lain Jong Minahasa, Jong Celebes, dan Jong Ambon. Perkumpulan ini
kemudian berfusi dalam Indonesia Muda. Di samping itu juga muncul Perhimpunan
Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI), pada 1925, oleh mahasiswa Jakarta dan
Bandung. Tujuan PPPI adalah kemerdekaan tanah air Indonesia Raya. Organisasi
bersifat anti-imperialisme. Di Bandung pada tahun 1927, berdiri Jong Indonesia.
Berbeda dengan organisasi-organisasi pemuda sebelumnya, organisasi ini sudah
bersifat nasional. Organisasi itu kemudian berganti nama Pemuda Indonesia dan
organisasi wanitanya bernama Putri Indonesia.
Pada tahun 1926, diadakanlah Kongres Pemuda Indonesia I di
Jakarta yang dihadiri oleh organisasi-organisasi pemuda yang masih bersifat
kedaerahan itu. Meskipun dalam Kongres I itu belum menghasilkan keputusan
penting, namun setidaknya benih-benih kebangsaan dan nasionalisme sudah
ditanamkan pada saat itu.
4. Organisasi Wanita
Organisasi
wanita yang berkembang sebelum tahun 1920, lebih menekankan pada perbaikan
status sosial di dalam keluarga. Organisasi itu juga menekankan pada pentingnya
pendidikan dan masih bersifat kedaerahan. Pada tahun 1912, berdiri organisasi
Putri Mardika di Jakarta.
Organisasi itu bertujuan untuk membantu bimbingan dan
penerangan pada gadis bumiputera dalam menuntut pelajaran dan mengemukakan
pendapat dimuka umum, serta memperbaiki hidup wanita sebagai manusia yang
mulia. Berbagai aktivitas dilakukan oleh organisasi itu, terutama memberikan
beasiswa untuk menunjang pendidikan dan menerbitkan majalah wanita Putri Mardika. Beberapa tokoh yang
pernah duduk dalam kepengurusan Putri
Mardika, yaitu Sabaruddin, R.A Sutinah, Joyo Pranoto, Rr. Rukmini, dan Sadikun
Tondokusumo.
Kartini
Fonds, didirikan atas usaha Ny. C.
Th. Van Deventer, seorang penasehat Politik Etis. Perkumpulan itu didirikan
pada 1912 dengan tujuan untuk mendirikan sekolah Kartini. Pada tahun 1913- 1915
berdiri berbagai organisasi wanita, terutama di Jawa dan Minangkabau. Fokus
perhatian mereka adalah mendobrak semua tradisi yang mengungkung wanita dan
keinginan memajukan mereka. Corak pergerakan wanita pada mulanya untuk
berbaikan kedudukan dalam kehidupan berumah tangga dengan memperbaiki
pendidikan dan mempertinggi kecakapan wanita. Sebagai contoh pada tahun 1913
berdiri Kautamaan Istri di Tasikmalaya yang bertujuan mendirikan sekolah
anak-anak remaja putri, sekolah perempuan di Cianjur (1916), Ciamis (1916),
Sumedang (1916), dan Cicurug (1918). Selanjutnya juga berdiri sekolah-sekolah
Kartini di Jakarta (1913), Madiun (1914), Malang dan Cirebon (1916), Pekalongan
(1917), dan kota-kota lain. Sementara itu, di Sumatera Barat didirikan
Kerajinan Amai Setia (KAS), yang diketua Rohana Kudus. Organisasi itu bertujuan
untuk meningkatkan derajat wanita dengan belajar membaca dan menulis, baik
huruf Arab maupun Latin. Juga belajar membuat kerajinan tangan, mengatur rumah
tangga, dan pada 1914 Kerajinan Amai Setia itu berhasil mendirikan sekolah
perempuan pertama di Sumatera Barat.
Munculnya
organisasi-organisasi wanita di berbagai daerah tersebut mendorong pergerakan
wanita untuk lebih berperan untuk meningkatkan kesejahteraan kaum perempuan.
Organisasi itu pun tumbuh semakin banyak. Di Jawa misalnya terbentuk Pawiyatan
Wanito di Magelang (1915), Wanita Susilo di Pemalang (1918), Wanito Rukun
Santoso di Malang, Putri Budi Sejati di Surabaya (1919). Organisasi-organisasi lainnya
pun merasa perlu untuk membentuk organisasi wanita sebagai bagiannya, seperti
SI yang kemudian mendirikan Sarekat Siti Fatimah di Garut (1918). Organisasi
dan partai kemudian memberikan perhatian yang besar pada organisasi wanita.
Mereka berpandangan, bahwa melalui organisasi wanita itulah peran
Organisasi Putri Indonesia Bandung 1930 |
pertama sebagai pendidikan anak-anak dapat dilakukan. Dengan
demikian cita-cita perjuangan dan kemerdekaan disampaikan sejak dini pada
anak-anak.
Seiring meningkatnya pendidikan pada kaum perempuan, semakin
meningkat pula perkumpulan-perkumpulan wanita. Mereka tidak saja bergerak dalam
bidang pendidikan, tetapi juga di bidang sosial. Perkumpulan kaum wanita ini
juga lahir sebagai organisasi wanita dari organisasi-organisasi pergerakan yang
sudah ada. Organisasi yang dimaksud misalnya ‘Aisyiah. Sejak itu, saat K.H.
Ahmad Dahlan mendirikan dan mengembangkan organisasi Muhammadiyah, juga
mendorong dan memberikan bantuan pada kaum wanita Muhammadiyah untuk mendalami
dan mengamalkan ajaran agama Islam. Pada tahun 1914, wanita Muhammadiyah
bergabung dalam organisasi Sopo Tresno,
yang kemudian berganti nama menjadi Aisyiah, dengan Nyai Dahlan sebagai ketuanya. Organisasi itu berkembang dengan jumlah
anggota mencapai 5000 orang dan mempunyai 47 cabang dengan 50 kring. Aisyiah
mempunyai sekolah perempuan sebanyak 32 sekolahan dengan 75 guru. Selanjutnya
muncul berbagai organisasi wanita di berbagai tempat. Tahun 1920 di Gorontalo
berdiri organisasi Gorontalosche
Muhammedaansche Vrouwen Vereninging. Pada
tahun itu juga Sarekat Kaum Ibu Sumatera di
Bukittinggi mendirikan Nahdatul Fa’at di Sumatera Barat. Wanita Utama
(1921) dan Wanita Khatolik (1924) didirikan di Yogyakarta. Sarekat Ambon
mendirikan INA TUNI (1927) di Ambon, Wanita Taman Siswa (1922), Jong Islamieten Bond Dames Afdeeling (1925), dan Putri Indonesia (1927). Di Manado berdiri organisasi Puteri Setia
(1928), Wanita Perti bagian dari Persatuan Tarbiyah Islamiyah, dan Mameskransje Help Elkander (Sahati) di
Jakarta.
5. Partai Komunis Indonesia
Dalam kongres
nasional SI yang pertama penggabungan prinsip Islam dan sosialisme dibicarakan.
Sosialisme dipandang sebagai simbol modern yang berlawanan dengan imperialisme.
Suatu paham yang dipandang dapat membawa keadilan sosial, kemakmuran, dan
kemerdekaan bangsa terjajah. Sementara itu di Belanda, Sneevliet, Brandstrder,
dan Dekker mendirikan ISDV. Mereka berusaha mencari kontak dengan IP dan SI
untuk mendekati rakyat tetapi tidak berhasil.
Untuk
mendapatkan pengaruh yang luas di kalangan masyarakat Indonesia, Sneevliet
berusaha memasukkan ajaran-ajaran komunis kepada masyarakat. Pilihan Sneevliet
agar dapat menguasai masyarakat yaitu melalui organisasi yang mempunyai wibawa
dan pengaruh yang luas, maka dipilihlah SI. Pada waktu itu SI merupakan
organisasi dengan pengaruh yang cukup kuat di kalangan penduduk bumiputera.
Anggotanya adalah kalangan pemuda dan berpikiran radikal. Pengikut ISDV
kemudian membentuk fraksi dalam tubuh SI.
Cepatnya
pengaruh komunis di Indonesia mencerminkan buruknya perekonomian dan hubungan
antara gerakan politik dan pemerintah Belanda. Radikalisme kaum komunis
menyebabkan pemerintah Belanda mengusir kaum komunis Belanda untuk pergi dari
Indonesia. Dengan kepergian kaum komunis itu maka terjadilah pergantian
pimpinan. Tahun 1920 organisasi itu kemudian berganti nama Partai Komunis
Hindia dan tahun 1924 berganti menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI).
Komunisme mudah menarik bagi kaum terjajah, karena mereka beranggapan segara
terbebas dari penjajah. Itulah sebabnya komunisme dapat dengan cepat
menyebarkan pengaruhnya ke masyarakat Indonesia. Pada saat bersamaan pemerintah
Belanda mengadakan penangkapan terhadap orang PKI yang mengadakan aksi politik.
Semaun dan Darsono melarikan diri ke Rusia. Kedudukan pimpinan PKI digantikan
oleh Tan Malaka. Karena keterlibatan SI dan PKI dalam pemogokan besar-besaran
pada tahun 1922, maka Tan Malaka dan Abdul Muis ditangkap dan diasingkan. PKI
selanjutnya bergabung dengan Comintern (Communist
International).
SI kemudian terpecah menjadi SI Putih dan SI Merah. SI Putih
dibawah H. Agus Salim memutuskan hubungan dengan PKI. Meskipun prinsip
persatuan dipegang teguh dalam menghadapi pemerintah, tetapi karena kondisi
sosio politik menguntungkan PKI bila terus diadakan kerjasama, maka
Cokroaminoto pada tahun 1923 melaksanakan “disiplin partai”. Penerapan disiplin
itu melarang anggota SI merangkap sebagai anggota PKI.
PKI
mendapat dukungan dari kalangan buruh. Sebagai akibat dari depresi ekonomi pada
1923, kaum buruh yang bergabung dalam Vereeninging
voor Spoor en Tramwegpersoneel (VSTP)
mendesak melakukan pemogokan untuk menuntut
kenaikan upah. Pemogokan itu diikuti oleh buruh percetakan dan juru mudi di
Semarang. Pemogokan di Semarang meluas hingga ke Surabaya. Akibat pemogokan
tersebut pimpinan PKI Semaun dan Darsono diusir dari Indonesia. Pada tahun
1926-1927 pemimpin PKI melakukan pemberontakan, pimpinannya kemudian dibuang ke
Boven Digul. Tindakan itu merupakan penyimpangan dari pola-pola kaum
terpelajar, dengan semangat Kebangkitan Nasional.
6. Perhimpunan Indonesia: Manifesto Politik
Pada awal abad ke-20, para pelajar Hindia yang berada di
Belanda mendirikan organisasi yang bernama Indische
Vereniging (1908), yaitu perkumpulan Hindia, yang beranggotakan orang-orang
Hindia, Cina dan Belanda. Organisasi itu didirikan oleh R.M Notosuroto, R.
Panji Sostrokartono, dan R. Husein Jajadiningrat. Semula organisasi itu
bergerak di bidang sosial dan kebudayaan sebagai ajang bertukar pikiran tentang
situasi tanah air. Organisasi itu juga menerbitkan majalah yang diberi nama Hindia Putera.
Banyaknya pemuda-pemuda pelajar di tanah Hindia yang dibuang
ke Belanda, semakin menggiatkan aktivitas perkumpulan itu. Dalam perkembangan
selanjutnya perkumpulan itu mengutamakan masalah-masalah politik. Jiwa
kebangsaan yang semakin kuat diantara mahasiswa Hindia di Belanda mendorong
mereka untuk mengganti nama Indische
Vereninging menjadi Indonesische
Vereeniging (1922). Selanjutnya perkumpulan itu berganti nama Indonesische Vereeniging (1925), dengan pimpinan Iwa Kusuma
Sumatri, JB. Sitanala, Moh.Hatta, Sastramulyono, dan D. Mangunkusumo. Nama
perhimpunannya diganti lagi menjadi “Perhimpunan Indonesia” (PI). Nama majalah
terbitan mereka juga berganti nama Indonesia
Merdeka. Itu semua merupakan usaha baru dalam memberikan identitas
nasioalis yang muncul di luar tanah air. Mereka juga membuat simbol-simbol
baru, merah putih sebagai lambang mereka dan Pangeran Diponegoro sebagai tokoh
perjuangan.
Perhimpoenan Indonesia semakin mendapat simpatik dari para
mahasiswa Indonesia di tanah Belanda. Jumlah keanggotaannya pun semakin
bertambah banyak. Tahun 1926 jumlah anggota mencapai 38 orang. Di tanah Belanda
itulah para mahasiswa itu menyerukan pada semua pemuda di Indonesia Hindia
untuk bersatu padu dalam setiap gerakan-gerakan mereka. PI bersemboyan “ self reliance, not mendiancy”, yang berarti
tidak meminta-minta dan menuntut-nuntut. Dalam Anggaran Dasarnya juga
disebutkan, bahwa kemerdekaan Indonesia hanya diperoleh melalui aksi bersama,
yaitu kekuatan serentak oleh seluruh rakyat Indonesia berdasarkan kekuatan
sendiri. Kepentingan penjajah dan yang terjajah berlawanan dan tidak mungkin
diadakan kerjasama (nonkoperasi). Bangsa Indonesia harus mampu berdiri di atas
kaki sendiri, tidak tergantung pada bangsa lain.
PI
menjadi organisasi politik yang semakin disegani karena pengaruh Moh. Hatta. Di
bawah pimpinan Hatta, PI berkembang dengan pesat dan merangsang para mahasiswa
yang ada di Belanda untuk terus memikirkan
Foto mahasiswa yang terhimpun dalam PI |
kemerdekaan tanah airnya. Aktivitas politik PI tidak saja
dilakukan di Belanda dan Indonesia, juga dilakukan secara internasional.
Mahasiswa secara teratur melakukan diskusi dan melakukan kritik terhadap
pemerintah Belanda. PI juga menuntut kemerdekaan Indonesia dengan segera.
Dengan demikian jelaslah bahwa Perhimpunan Indonesia
merupakan manifesto politik pergerakan Indonesia. Karena Perhimpunan itu lahir
di negeri asing yang saat itu menjadi penjajah tanah Hindia. Dari tempat
penjajah itulah perkumpulan pemuda terpelajar itu berhasil mengobarkan
semangat dan panji-panji kemerdekaan Indonesia. jelaslah bahwa para pemuda
Indonesia tidak takut untuk membela dan berjuang untuk kemerdekaan tanah airnya
dengan segala resikonya.
7. Taman Siswa
Awalnya, Taman Siswa bernama Nationaal Onderwijs Instituut Taman Siswa (Institut Pendidikan Nasional Taman Siswa). Saat itu Taman Siswa hanya memiliki 20 murid kelas Taman Indria. Namun, kemudian Taman Siswa berkembang pesat dengan memiliki 52 cabang dengan murid kurang dengan murid kurang lebih 65.000 siswa.
Azas Taman Siswa adalah “Ing
Ngarsa Sung Tulada, Ing Madya Mangun
Karsa, Tut Wuri Hkamuyani”. Artinya,
“guru di depan harus memberi contoh atau teladan, di tengah harus bisa menjalin
kerjasama, dan di belakang harus memberi motivasi atau dorongan kepada para
siswanya.” Azas ini masih relevan dan penting dalam dunia pendidikan.
Lambang Taman Siswa |
Taman
Siswa mendobrak sistem pendidikan Barat dan pondok pesantren, dengan mengajukan sistem pendidikan nasional. Pendidikan nasional yang ditawarkan
adalah pendidikan bercirikan kebudayaan asli Indonesia.
Taman Siswa mengalami banyak kendala dari pihak-pihak yang
tidak mendukung. Pemerintah Kolonial Hindia Belanda mengeluarkan berbagai
aturan untuk membatasi pergerakan Taman Siswa, seperti dikenai pajak rumah
tangga dan Undang-Undang Ordonansi Sekolah Liar Tahun 1932 yakni larangan
mengajar bagi guru-guru yang terlibat partai politik. Taman siswa mampu
memberikan kontribusi yang luar biasa bagi masyarakat luas dengan pendidikan,
Taman Siswa mampu menyediakan pendidikan untuk rakyat yang tidak mampu
disediakan oleh pemerintah kolonial. Saat ini sekolah Taman Siswa masih berdiri
dan tetap berperan bagi kemajuan pendidikan di Indonesia.
8. Organisasi Buruh
Perkumpulan Adhi Dharma yang didirikan oleh Suryopranoto
(kakak Ki Hajar Dewantara) pada tahun 1915 berperan sebagai organisasi yang
membela kepentingan kaum buruh, termasuk membantu para buruh yang dipecat untuk
memperoleh pekerjaan baru dan membantu keuangan mereka selama mencari
pekerjaan.
Pada
bulan Agustus 1918, Suryopranoto membentuk gerakan kaum buruh bernama Prawiro Pandojo ing Joedo atau Arbeidsleger (tentara buruh) yang
merupakan cabang dari Adhi Dharma. Organisasi ini didirikan sebagai dampak dari
terjadinya aksi perlawanan kaum buruh pabrik gula di Padokan (sekarang pabrik
gula Madukismo), Bantul, Yogyakarta.
Bulan
November 1918, Suryopranoto mendeklarasikan berdirinya Personeel Fabriek Bond (PFB)
yang beranggotakan buruh tetap, Perkumpulan Tani dan koperasi yang kemudian lazim disebut sebagai Sarekat Tani dengan
anggota kuli kenceng atau pemilik
tanah yang disewa pabrik, serta Perserikatan
Kaoem Boeroeh Oemoem (PKBO) yang beranggotakan buruh musiman. PFB didirikan
untuk membela kepentingan kaum buruh yang terus mengalami penindasan. Bersama
PFB, Suryopranoto memimpin banyak aksi mogok kerja untuk menuntut peningkatan
kesejahteraan bagi kaum buruh. Pada tahun 1918 Adi Dharma menjadi bagian dari
Sarekat Islam (SI), maka Personeel Fabriek Bond (PFB) yang terbentuk dalam
tahun tersebut otomatis berada di bawah
perlindungan Central Sarekat Islam (CSI).
Sepulang dari pembuangan penjara Sukamiskin, Suryopranoto dan Adhi Dharma turut berkiprah sebagai pengajar di Taman Siswa, lembaga pendidikan untuk kaum bumiputera yang didirikan oleh sang adik, Suwardi Suryaningrat, yang saat itu telah berganti nama menjadi Ki Hajar Dewantara.
KESIMPULAN
- Pendidikan tidak saja dipandang sebagai alat menuju ke arah pembaruan masyarakat, peningkatan kecerdasan, dan alat bagi terbukanya mobilititas sosial tetapi juga mampu membangun ruh nasionalisme.
- Tumbuhnya ruh nasionalisme di kalangan kaum terpelajar, kaun terdidik, telah mendorong berkembangnya semangat kebangsaan di berbagai kalangan dan kelompok masyarakat. Lahirlah kemudian berbagai bentuk organisasi pergerakan kebangsaan, sesuai dengan ideologi dan bidang yang diminati dan diyakini oleh para pendirinya. Lahirlah organisasi kebangsaan yang yang berpaham nasionalisme, kominisme, ada yang bergerak dalam bidang pendidikan, melalui bidang agama, ada organisasi kaum buruh, dan juga organisasi yang diembangkan oleh para pemuda dan juga perempuan.
- Pada mulanya perjuangan pergerakan organisasi kebangsaan itu bersifat kedaerahan atau kelompok, namun paham kebangsaan dan nasionalisme sudah terlihat dalam tujuan dan cita-cita organisasi itu sehingga sifat kebangsaannya semakin berkembang.
- Secara khusus terdapat organisasi pergerakan yang lahir di negeri Belanda (yang menjajah Indonesia) yakni Perhimpunan Indonesia yang telah merintis dan mempopulerkan semangat persatuan dan kesatuan (kerja sama), kemandirian, tidak bekerja sama dengan penjajah untuk kemerdekaan.
Alhamdulillah, akhirnya postingan yang admin bagikan kali ini tentang Membangun Jati Diri Keindonesiaan, selesai dengan tepat waktu. Sebelum kami mnegakhiri pembahasan kali ini, jangan lupa baca juga postingan sebelumnya mengenai Perang Melawan Kolonialisme. Semoga bermanfaat buat kita bersama terutama buat mereka yang meluangkan wwaktunya untuk membaca artikel ini.
0 Response to "Membangun Jati Diri Keindonesiaan"
Posting Komentar