Antara Kolonialisme Dan Imperialisme - Imperialisme zaman sekarang berbuahkan “negeri-negeri mandat” alias “mandatgebieden”, daerah-daerah pengaruh “alias” “involedssferen” dan lain sebagainya, sedang di dalam sifatnya menakhlukkan negeri orang lain, imperialisme itu berbuahkan negeri djajahan-koloniasa-bezit H.A. Notosoetardjo -Bung Karno dihadapan Pengadilan Kolonial (1963).
Anda sering mendengar kritik bahwa secara politik kita sudah merdeka tetapi secara ekonomis masih sering dipermainkan oleh kekuatan ekonomi global. Bahkan ada yang secara ekstrim mengatakan “kita sudah merdeka secara politik tetapi masih terjajah di bidang ekonomi.” Bahkan beberapa ahli mengatakan tidak hanya terjajah secara ekonomi, di Indonesia juga sedang berkembang imperialisme kebudayaan.
Dapat dirasakan bahwa kemandirian dan kekuatan ekonomi Indonesia masih lemah karena pengaruh kekuatan asing dan hutang luar negeri yang tidak sedikit. Sementara di dalam negeri berbagai penyelewengan di sektor ekonomi, termasuk korupsi masih terus berlangsung. Begitu juga kalau mencermati perkembangan budaya dan gaya hidup sebagian generasi muda kita yang lebih bangga dan menyenangi budaya dari Barat. Contohnya, anak-anak dan remaja akan lebih mengenal dan bangga memakan hamburger dari pada jenis makanan di negeri sendiri misalnya singkong.
Mengapa hal itu terjadi? Mengapa kemandirian di bidang ekonomi kita masih lemah? Mengapa jati diri di bidang kebudayaan juga kurang kompetitif? Pertanyaan-pertanyaan itu menarik untuk kita telaah kemudian menemukan jawabnya. Yang jelas kemandirian ekonomi memang harus terus diperjuangkan, mengingat negeri kita negeri yang begitu kaya. Sejarah telah mencatat bahwa kekayaan bumi Nusantara yang diibaratkan sebagai “mutiara dari timur” telah menarik perhatian negara lain untuk menjajah dan menguasai tanah air tercinta. Begitu juga jati diri budaya bangsa kita dapat tergoyahkan. Kalau kita renungkan berbagai masalah tersebut berakar dari berkembangnya kolonialisme dan imperialisme Barat di Indonesia sejak abad ke-17. Nah, mulai saat itu kita tidak memiliki kemandirian dan kedaulatan baik secara ekonomi, politik maupun budaya. Mencermati uraian dalam pengantar di atas tentang adanya pandangan bahwa terdapat beberapa aspek kehidupan bangsa Indonesia yang masih berada di bawah bayang-bayang pengaruh dominasi asing. Hal ini mengingatkan kepada kehidupan di zaman kolonial ketika negeri kita dikuasai bangsa asing baik secara ekonomi, politik dan budaya. Pemerintah yang pernah menjajah negeri kita juga tidak sedikit yang korup dan menanggung hutang. Pertanyaannya adalah apakah realitas kehidupan ekonomi kita saat ini yang masih terlilit utang, korupsi dan dikatakan masih berada di bawah bayang-bayang kekuatan ekonomi global itu merupakan warisan sejarah masa kolonial?
Tentu tidak sepenuh tepat. Tetapi pertanyaan itu mengingatkan kita pada konsep perubahan dan keberlanjutan dalam sejarah. Perubahan merupakan konsep yang sangat penting dalam sejarah. Sebab peristiwa itu terjadi pada hakikatnya karena adanya perubahan. Perubahan merupakan pembeda dari suatu keadaan yang satu dengan keadaan yang lain, dari tempat yang satu dengan tempat yang lain, dari waktu yang satu ke waktu yang lain. Misalnya perubahan dari keadaan bangsa yang terjajah menjadi bangsa yang merdeka setelah terjadi peristiwa Proklamasi 17 Agustus 1945. Sekalipun terjadi peristiwa proklamasi ada aspek-aspek tertentu yang tersisa dan masih berlanjut. Sebagai contoh dari peristiwa proklamasi, status kita berubah dari bangsa terjajah menjadi bangsa merdeka, tetapi dalam bidang hukum seperti UU Hukum Pidana masih banyak melanjutkan UU Hukum Pidana pada zaman Belanda.
Begitu juga dalam mengkaji sejarah perkembangan kolonialisme dan imperialisme tentu ada peristiwa-peristiwa atas realitas yang terkait dengan konsep perubah dan keberlanjutan. Nah, pada uraian berikut ini kita akan belajar tentang perkembangan kolonialisme dan imperialisme Barat serta perlawanan rakyat Indonesia melalui tema: antara kolonialisme dan imperialisme.
Peta penjelajahan samudra |
A. Melacak Perburuan “Mutiara dari Timur”
Peta tersebut menggambarkan proses kedatangan bangsa-bangsa Barat ke Nusantara. Garis menggambarkan proses perjalanan laut bangsa Portugis. Simbol -- . -- menunjukkan proses perjalanan laut bangsa Spanyol, Simbol - - - - menunjukkan kedatangan bangsa Inggris, dan garis ............ menggambarkan proses perjalanan bangsa Belanda menuju Indonesia.
Perlu disadari bahwa Nusantara merupakan kepulauan yang sangat kaya dan indah. Bagaikan “mutiara dari timur”, Nusantara atau Kepulauan Indonesia memiliki flora dan fauna yang sangat berwarna-warni, hasil dan persediaan tambang ada di mana-mana, begitu juga hasil pertanian dan perkebunan melimpah dengan hasil rempah-rempah yang selalu menggugah selera. Sungguh Tuhan Yang Maha Pemurah telah menganugerahkan bumi Nusantara yang kaya ini untuk kita semua. Oleh karena itu, sudah sepantasnya kita bersyukur atas nikmat-Nya, dengan menjaga dan melestarikannya. Kekayaan dan keindahan tanah Nusantara itu pula yang menarik dan menggiurkan bangsa-bangsa lain untuk datang. Sekarang mereka datang ke Indonesia, ada yang sebagai wisatawan, ada sebagai penanam modal, ada yang bekerja seperti konsultan, dan lain-lain. Tetapi dalam perjalanan sejarah Indonesia kedatangan bangsa-bangsa asing di Nusantara yang dimulai abad ke-16 ternyata telah membawa sebuah perubahan besar dengan terjadinya suatu masa penjajahan bangsa Barat.
Nah, bagaimana proses datangnya bangsa Barat ke Indonesia? Ikuti uraian berikut.
1. Memahami Motivasi, Nafsu, dan Kejayaan Barat
Di dalam sejarah bangsa-bangsa di dunia dikenal adanya masa penjelajahan samudra. Aktivitas penjelajahan samudra ini dalam rangka untuk menemukan dunia baru. Aktivitas penemuan dunia baru ini tidak terlepas dari motivasi dan keinginannya untuk survive, memenuhi kepuasan dan kejayaan dalam kehidupan di dunia. Bahkan bukan sekedar motivasi, tetapi juga muncul nafsu untuk menguasai dunia baru itu demi memperoleh keuntungan ekonomi dan kejayaan politik. Pertanyaannya adalah daerah mana yang dimaksud dunia baru itu? Yang dimaksud dunia baru waktu itu pada mulanya adalah wilayah atau bagian dunia yang ada di sebelah timur (timurnya Eropa) sebagai penghasil bahan-bahan yang sangat diperlukan dan digemari oleh bangsa-bangsa Eropa. Bahan-bahan yang dimaksudkan itu adalah rempah-rempah seperti cengkih, lada, pala, dan lain-lain.
Mengapa orang-orang Eropa sangat memerlukan rempah-rempah? Orang-orang Eropa berusaha sekuat tenaga untuk menemukan daerah penghasil rempah-rempah. Rempah-rempah ini menjadi komoditas perdagangan yang sangat laris di Eropa. Daerah yang menghasilkan rempah-rempah itu tidak lain adalah Kepulauan Nusantara. Orang-orang Eropa menyebut daerah itu dengan nama Hindia. Bagaikan “memburu mutiara dari timur”, orang-orang Eropa berusaha datang ke Kepulauan Nusantara untuk mendapatkan rempah-rempah. Namun dalam konteks penemuan dunia baru itu kemudian tidak hanya Kepulauan Nusantara saja tetapi juga daerah-daerah lain yang ditemukan orang-orang Eropa pada periode penjelajahan samudra, misalnya Amerika, dan daerah-daerah lain di Asia.
Sejarah umat manusia sudah sejak lama mengglobal. Peristiwa sejarah di suatu tempat sangat mungkin terpengaruh atau menjadi dampak dari peristiwa lain yang terjadi di tempat yang cukup jauh. Begitu juga peristiwa kedatangan bangsa Barat ke Indonesia dilatarbelakangi oleh peristiwa yang jauh dari Indonesia, misalnya peristiwa jatuhnya Konstantinopel di kawasan Laut Tengah pada tahun 1453. Serangkaian penemuan di bidang teknologi juga merupakan faktor penting untuk melakukan pelayaran bagi bangsa-bangsa Barat menuju Tanah Hindia/Kepulauan Nusantara. Sementara itu semangat dan dorongan untuk melanjutkan Perang Salib disebut-sebut juga ikut mendorong kedatangan bangsa-bangsa Barat ke Indonesia.
2. Menganalisis Petualangan, Penjelajahan dan Penemuan Dunia Baru
Bertahun-tahun lamanya Laut Tengah menjadi pusat perdagangan internasional antara para pedagang dari Barat dan Timur. Salah satu komoditinya adalah rempah-rempah. Para pedagang dari Barat atau orang-orang Eropa itu mendapatkan rempah-rempah dengan harga lebih terjangkau. Setelah jatuhnya Konstantinopel tahun 1453 ke tangan Turki Usmani, akses bangsa-bangsa Eropa untuk mendapatkan rempah-rempah yang lebih murah di kawasan Laut Tengah menjadi tertutup. Harga rempah-rempah melambung sangat tinggi di pasar Eropa. Oleh karena itu, mereka berusaha mencari dan menemukan daerah-daerah penghasil rempah-rempah ke timur. Mulailah periode petualangan, penjelajahan, dan penemuan dunia baru. Upaya tersebut mendapat dukungan dan partisipasi dari pemerintah dan para ilmuwan. Portugis dan Spanyol dapat dikatakan sebagai pelopor petualangan, pelayaran dan penjelajahan samudra untuk menemukan dunia baru di timur. Portugis juga telah menjadi pembuka jalan menemukan Kepulauan Nusantara sebagai daerah penghasil rempah-rempah. Kemudian menyusul Belanda dan Inggris. Tujuannya tidak semata-mata mencari keuntungan melalui perdagangan rempah-rempah tetapi ada tujuan yang lebih luas. Tujuan mereka terkait dengan :
- gold: memburu kekayaan dan keuntungan dengan mencari dan mengumpulkan emas, perak dan bahan tambang serta bahan-bahan lain yang sangat berharga. Waktu itu yang dituju terutama Guinea dan rempah-rempah dari Timur
- glory: memburu kejayaan, superioritas, dan kekuasaan. Dalam kaitan ini mereka saling bersaing dan ingin berkuasa di dunia baru yang ditemukannya.
- gospel: menjalankan tugas suci untuk menyebarkan agama. Pada mulanya orang-orang Eropa ingin mencari dan bertemu Prester John yang mereka yakini sebagai Raja Kristen yang berkuasa di Timur
Berikut ini akan dijelaskan petualangan, pelayaran dan penjelajahan samudra bangsa-bangsa Eropa menuju Kepulauan Nusantara.
a. Spanyol
Christopher Columbus |
Orang-orang Spanyol dapat dikatakan sebagai pelopor dalam pelayaran dan penjelajahan samudra mencari daerah baru penghasil rempah-rempah di timur (disebut Tanah Hindia). Mereka diprakarsai oleh Christhoper Columbus. Sebelum berangkat Columbus menghadap kepada Ratu Isabella untuk mendapat dukungan termasuk fasilitas. Ratu Isabella mengizinkan dan menyediakan tiga kapal dengan segala perlengkapannya. Ratu Isabella juga menyediakan hadiah apabila misi Columbus dapat berhasil.
Atas dasar keyakinan bahwa bumi itu bulat maka Columbus dengan rombongannya optimis berhasil menemukan daerah baru di timur. Pada tanggal 3 Agustus 1492, Columbus berangkat dari pelabuhaan Spanyol berlayar menuju arah barat. Pada tanggal 6 September tahun yang sama, rombongan Columbus sampai di Kepulauan Kanari di sebelah barat Afrika. Ekspedisi penjelajahan samudra dilanjutkan dengan mengarungi lautan luas yang dikenal ganas, yakni Samudra Atlantik. Salah satu kapalnya rusak. Para anggota ekspedisi hampir putus asa. Namun Columbus terus memberi semangat bagi anggota rombongannya. Setelah sekitar satu bulan lebih berlayar, tanggal 12 Oktober 1492 rombongan Columbus berhasil mendarat di pantai bagian dari Kepulauan Bahama. Columbus mengira bahwa ekspedisinya ini sudah sampai di Tanah Hindia. Oleh karena itu, penduduk yang menempati daerah itu disebut orang-orang Indian. Tempat mendarat Colombus ini kemudian dinamakan San Salvador. Berikutnya rombongan Columbus kembali berlayar dan mendarat di Haiti. Merasa ekspedisinya telah berhasil maka rombongan Columbus bertolak kembali ke Spanyol untuk melapor kepada Ratu Isabella. Tahun 1493 Columbus sampai kembali di Spanyol. Kedatangan Columbus dan rombongan disambut dengan suka cita. Bahkan dengan keberhasilannya mendarat di Kepulauan Bahama dan Haiti, Columbus diakui sebagai penemu daerah baru yakni Benua Amerika.
Keberhasilan pelayaran Columbus menemukan daerah baru telah mendorong para pelaut lain untuk melanjutkan penjelajahan samudra ke timur. Apalagi Columbus belum berhasil menemukan daerah penghasil rempah-rempah. Berangkatlah ekspedisi yang dipimpin oleh Magellan/Magalhaes atau umum menyebut Magelhaens. Ia juga disertai oleh seorang kapten kapal yang bernama Yan Sebastian del Cano. Berdasarkan catatan-catatan yang telah dikumpulkan Columbus, Magellan mengambil jalur yang mirip dilayari Columbus. Setelah terus berlayar Magellan beserta rombongan mendarat di ujung selatan benua yang ditemukan Columbus (Amerika). Di tempat ini terdapat selat yang agak sempit yang kemudian dinamakan Selat Magellan.
Melalui selat ini rombongan Magellan terus berlayar meninggalkan Samudra Atlantik dan memasuki Samudra Pasifik dengan lautan yang relatif tenang. Setelah sekitar tiga bulan lebih rombongan Magellan berlayar akhirnya pada Maret 1521 Magellan mendarat di Pulau Guam. Rombongan Magellan kemudian melanjutkan penjelajahannya dan pada April 1521 sampai di Kepulauan Massava atau kemudian dikenal dengan Filipina. Magellan menyatakan bahwa daerah yang ditemukan ini sebagai koloni Spanyol.
Rute Pelayaran Magellan |
Tindakan Magellan dan rombongan ini mendapat tantangan penduduk setempat (orang-orang Mactan). Terjadilah pertempuran antara kedua belah pihak. Dalam pertempuran dengan penduduk setempat itu rombongan Magellan terdesak bahkan Magellan sendiri terbunuh. Rombongan Magellan yang selamat segera meninggalkan Filipina. Mereka di bawah pimpinan Sebastian del Cano terus berlayar ke arah selatan. Pada tahun 1521 itu juga mereka sampai di Kepulauan Maluku yang ternyata tempat penghasil rempah-rempah. Tanpa berpikir panjang kapal-kapal rombongan del Cano ini dipenuhi dengan rempah-rempah dan terus bertolak kembali ke Spanyol. Dikisahkan bahwa atas petunjuk pemandu orang Indonesia kapal-kapal rombongan del Cano ini berlayar menuju ke arah barat, sehingga melewati Tanjung Harapan di Afrika Selatan dan diteruskan menuju Spanyol. Dengan penjelajahan dan pelayaran yang dipimpin oleh Magellan itu maka sering disebut-sebut bahwa tokoh yang berhasil mengelilingi dunia pertama kali adalah Magellan.
Dalam kaitannya dengan pelayaran dan penjelajahan samudra itu ada pendapat yang menarik dari Menzies, seorang perwira angkatan laut Inggris. Ia menegaskan bahwa yang berhasil mengelilingi dunia pertama kali adalah armada Cina yang dipimpin oleh Panglima Zheng He (Cheng Ho) pada tahun 1421. Zheng He adalah seorang kasim kepercayaan Kaisar Cina dari Dinasti Ming yang bernama Zhu Di atau Yong Le. Dijelaskan oleh Menzies bahwa Zheng He bersama armadanya telah berlayar mengelilingi dunia dengan berpedoman pada peta-peta kuna yang dibuat oleh para kartografer Cina dan juga beberapa peta yang dibuat misalnya oleh Fra Mauro (orang Italia), dan yang dibuat oleh Piri Reis (orang Turki).
Kemudian bagaimana peran para nelayan dan pedagang Indonesia yang sudah berdagang sampai India, kemudian ke Laut Timur Tengah? Mereka pada umumnya sudah mengetahui berbagai jalur perdagangan dan pelayaran ke berbagai wilayah, sehingga wajar kalau beberapa di antara mereka juga sebagai pemandu pelayaran. Sungguh luar biasa nenek moyang dan para pendahulu kita saat itu. Mereka sudah memiliki pengetahuan yang luas tentang pelayaran dan penjelajahan samudra. Mereka telah mewariskan kepada kita tentang jiwa dan nilai-nilai bahari, tentang kedaulatan diri untuk berdagang dan bergaul dengan orang-orang dari luar atas dasar persamaan.
Kapal-kapal Cina yang sudah biasa berlayar sampai di perairan Nusantara |
b. Portugis
Vasco da Gama |
Berita keberhasilan Columbus menemukan daerah baru, membuat penasaran raja Portugis (sekarang terkenal dengan sebutan Portugal), Manuel l. Dipanggillah pelaut ulung Portugis bernama Vasco da Gama untuk melakukan ekspedisi menjelajahi samudra mencari Tanah Hindia. Vasco da Gama mencari jalan lain agar lebih cepat sampai di Tanah Hindia tempat penghasil rempah-rempah. Kebetulan sebelum Vasco da Gama mendapatkan perintah dari Raja Manuel l, sudah ada pelaut Portugis bernama Bartholomeus Diaz melakukan pelayaran mencari daerah Timur dengan menelusuri pantai barat Afrika. Pada tahun 1488 karena serangan ombak besar terpaksa Bartholomeus Diaz mendarat di suatu Ujung Selatan Benua Afrika. Tempat tersebut kemudian dinamakan Tanjung Harapan. Ia tidak melanjutkan penjelajahannya tetapi memilih bertolak kembali ke negerinya.
Pada Juli 1497 Vasco da Gama berangkat dari pelabuhan Lisabon untuk memulai penjelajahan. Berdasarkan pengalaman Bartholomeus Diaz itu, Vasco da Gama juga berlayar mengambil rute yang pernah dilayari Bartholomeus Diaz. Rombongan Vasco da Gama juga singgah di Tanjung Harapan. Atas petunjuk dari pelaut bangsa Moor yang telah disewanya, rombongan Vasco da Gama melanjutkan penjelajahan, berlayar menelusuri pantai timur Afrika kemudian berbelok ke kanan untuk mengarungi Lautan Hindia (Samudra Indonesia). Pada tahun 1498 rombongan Vasco da Gama mendarat sampai di Kalikut dan juga Goa di pantai barat India. Ada pemandangan yang menarik dari kedatangan rombongan Vasco da Gama ini. Mereka ternyata sudah menyiapkan patok batu yang disebut batu padrao. Batu ini sudah diberi pahatan lambang bola dunia. Setiap daerah yang disinggahi kemudian dipasang patok batu padrao sebagai tanda bahwa daerah yang ditemukan itu milik Portugis. Bahkan di Goa, India Vasco da Gama berhasil mendirikan kantor dagang yang dilengkapi dengan benteng. Atas kesuksesan ekspedisi ini maka oleh Raja Portugis, Vasco da Gama diangkat sebagai penguasa di Goa atas nama pemerintahan Portugis.
Ilustrasi kedatangan bangsa Portugis di wilayah Indonesia |
Setelah beberapa tahun tinggal di India, orang-orang Portugis menyadari bahwa India ternyata bukan daerah penghasil rempah-rempah. Mereka mendengar bahwa Malaka merupakan kota pusat perdagangan rempah-rempah. Oleh karena itu, dipersiapkan ekspedisi lanjutan di bawah pimpinan Alfonso de Albuquerque. Dengan armada lengkap Alfonso de Albuquerque berangkat untuk menguasai Malaka. Pada tahun 1511 armada Portugis berhasil menguasai Malaka. Dengan demikian kekuatan Portugis semakin mendekati Kepulauan Nusantara. Orang-orang Portugis pun segera mengetahui tempat buruannya “mutiara dari timur” yakni di Kepulauan Nusantara, khususnya di Kepulauan Maluku.
Perlu ditambahkan bahwa dengan dikuasainya Malaka oleh Portugis pada tahun 1511 telah menyebabkan perdagangan orang-orang Islam menjadi terdesak. Para pedagang Islam tidak lagi bisa berdagang dan keluar masuk kawasan Selat Malaka, karena Portugis melakukan monopoli perdagangan. Akibatnya para pedagang Islam harus menyingkir ke daerah-daerah lain. Tindakan Portugis yang memaksakan monopoli dalam perdagangan itu telah mendapatkan protes dan perlawanan dari berbagai pihak. Sebagai contoh pada tahun 1512 terjadi perlawanan yang dilancarkan seorang pemuka masyarakat yang bernama Pate Kadir (Katir). Pate Kadir merupakan tokoh masyarakat yang sangat pemberani. Ia melancarkan perlawanan terhadap keserakahan Portugis di Malaka. Dalam melancarkan perlawanan ini Kadir berhasil menjalin persekutuan dengan Hang Nadim. Perlawanan Pate Kadir terjadi di laut dan kemudian menyerang pusat kota. Tetapi ternyata dengan kekuatan senjata yang lebih unggul, pasukan Kadir dapat dipukul mundur. Kadir semakin terdesak dan kemudian berhasil meloloskan diri sampai ke Jepara dan selanjutnya ke Demak.
Tindak monopoli yang dipaksakan Portugis juga mendapatkan protes dari penguasa Kerajaan Demak. Demak telah menyiapkan pasukan untuk melancarkan perlawanan terhadap Portugis di Malaka. Pasukan Demak ini dipimpin oleh putera mahkota, Pati Unus. Pasukan Demak ini semakin kuat setelah bergabungnya Pate Kadir dan pengikutnya. Tahun 1513 pasukan Demak yang berkekuatan 100 perahu dan ribuan prajurit mulai melancarkan serangan ke Malaka. Tetapi dalam kenyataannya kekuatan pasukan Demak dan pengikut Kadir belum mampu menandingi kekuatan Portugis, sehingga serangan Demak ini juga belum berhasil. Posisi Portugis menjadi semakin kuat. Portugis terus berusaha memperluas monopolinya, sampai kemudian sampai ke Indonesia.
c. Belanda
Mendengar keberhasilan orang-orang Spanyol dan juga Portugis dalam menemukan daerah baru, apalagi daerah penghasil rempah-rempah, para pelaut dan pedagang Belanda tidak mau ketinggalan. Tahun 1594 Barents mencoba berlayar untuk mencari dunia Timur atau Tanah Hindia melalui daerah kutub utara. Karena keyakinannya bahwa bumi bulat maka sekalipun dari utara atau barat akan sampai pula di timur. Ternyata Barents tidak begitu mengenal medan. Ia gagal melanjutkan penjelajahannya karena kapalnya terjepit es mengingat air di kutub utara sedang membeku. Barents terhenti di sebuah pulau yang disebut Novaya Zemlya. Ia berusaha kembali ke negerinya, tetapi ia meninggal di perjalanan.
Pada tahun 1595 pelaut Belanda yang lain yakni Cornelis de Houtman dan Piter de Keyser memulai pelayaran. Kedua pelaut ini bersama armadanya dengan kekuatan empat kapal dan 249 awak kapal beserta 64 pucuk meriam melakukan pelayaran dan penjelajahan samudra untuk mencari tanah Hindia yang dikenal sebagai penghasil rempah-rempah. Cornelis de Houtman mengambil jalur laut yang sudah biasa dilalui orang-orang Portugis. Tahun 1596 Cornelis de Houtman beserta armadanya berhasil mencapai Kepulauan Nusantara. Ia dan rombongan mendarat di Banten. Sesuai dengan niatnya untuk berdagang maka kehadiran Cornelis de Houtman diterima baik oleh rakyat. Waktu itu di Kerajaan Banten bertepatan dengan masa pemerintahan Sultan Abdul Mufakir Mahmud Abdulkadir. Dengan melihat pelabuhan Banten yang begitu strategis dan adanya hasil tanaman rempah-rempah di wilayah itu Cornelis de Houtman berambisi untuk memonopoli perdagangan di Banten. Dengan kesombongan dan kadang-kadang berlaku kasar, orang-orang Belanda memaksakan kehendaknya. Hal ini tidak dapat diterima oleh rakyat dan penguasa Banten. Oleh karena itu, rakyat mulai membenci bahkan kemudian mengusir orang-orang Belanda itu. Cornelis de Houtman dan armadanya segera meninggalkan Banten dan akhirnya kembali ke Belanda.
Ekspedisi penjelajahan berikutnya segera dipersiapkan untuk kembali menuju Kepulauan Nusantara. Rombongan kali ini dipimpin antara lain oleh van Heemskerck. Tahun 1598 van Heemskerck dengan armadanya sampai di Nusantara dan juga mendarat di Banten. Heemskerck dan anggotanya bersikap hati-hati dan lebih bersahabat. Rakyat Banten pun kembali menerima kedatangan orang-orang Belanda. Belanda mulai melakukan aktivitas perdagangan. Kapal-kapal mereka mulai berlayar ke timur dan singgah di Tuban. Dari Tuban pelayaran dilanjutkan ke timur menuju Maluku. Di bawah pimpinan Jacob van Neck mereka sampai di Maluku pada tahun 1599. Kedatangan orang-orang Belanda ini juga diterima baik oleh rakyat Maluku. Kebetulan waktu itu Maluku sedang konflik dengan orang-orang Portugis. Pelayaran dan perdagangan orang-orang Belanda di Maluku ini mendapatkan keuntungan yang berlipat. Dengan demikian semakin banyak kapal-kapal dagang yang berlayar menuju Maluku.
Uraian tersebut menunjukkan bahwa rakyat Indonesia senantiasa mau bersahabat dan berdagang dengan siapa saja atas dasar persamaan. Tetapi kalau para pedagang asing itu ingin memaksakan kehendak dan melakukan monopoli perdagangan di wilayah Nusantara tentu harus ditolak karena tidak sesuai dengan martabat rakyat Indonesia yang ingin berdaulat dalam hidup dan kehidupan termasuk dalam kegiatan perdagangan.
d. Inggris
Perlu dipahami bahwa setelah Portugis berhasil menemukan
kepulauan Maluku, perdagangan rempah-rempah semakin meluas. Dalam waktu singkat
Lisabon berkembang menjadi pusat perdagangan rempah-rempah di Eropa Barat.
Dalam kaitan ini Inggris dapat mengambil keuntungan besar dalam perdagangan
rempah-rempah karena Inggris mendapatkan rempah-rempah secara bebas dan relatif
murah di Lisabon. Rempah-rempah itu kemudian diperdagangkan di daerah-daerah Eropa
Barat bahkan sampai di Eropa Utara. Tetapi karena Inggris terlibat konflik
dengan Portugis sebagai bagian dari Perang 80 Tahun, maka Inggris mulai
mengalami kesulitan untuk mendapatkan rempah-rempah dari pasar Lisabon. Oleh
karena itu, Inggris kemudian berusaha mencari sendiri negeri penghasil
rempah-rempah. Banyak anggota masyarakat, para pelaut dan pedagang yang tidak
melibatkan diri dalam perang justru mengadakan pelayaran dan penjelajahan
samudra untuk menemukan daerah penghasil rempah-rempah. Dalam pelayarannya ke
dunia Timur untuk mencari daerah penghasil rempah-rempah, Inggris
sampai ke India. Para pelaut dan pedagang Inggris ini masuk
ke India pada tahun 1600. Inggris justru memperkuat kedudukannya di India.
Inggris membentuk kongsi dagang yang diberi nama East India Company (EIC). Dari India inilah para pelaut dan
pedagang Inggris berlayar ke Kepulauan Nusantara untuk meramaikan perdagangan
rempah-rempah. Bahkan pada tahun 1811 pernah memegang kendali kekuasaan di
Tanah Hindia.
Di samping ekspedisi tersebut, ada beberapa rombongan pelaut Inggris yang melewati jalur yang pernah ditempuh para pelaut Spanyol. Misalnya kelompok Pelgrim Father yang merupakan kelompok pelaut Inggris yang menggunakan Kapal Mayflower. Tahun 1607 kelompok Pilgrim Father berhasil mendarat di Amerika bagian Utara. Mereka kemudian membangun koloni di Amerika Utara di Massachusetts.
KESIMPULAN
- Latar belakang datangnya bangsa-bangsa Barat ke Indonesia: Jatuhnya Konstantinopel ke tangan Turki Usmani (1453), adanya berbagai penemuan di bidang teknologi, semangat melanjutkan Perang Salib
- Bangsa-bangsa Barat (Portugis, Spanyol, Belanda, dan Inggris), mencari daerah baru untuk memburu rempah-rempah melalui penjelajahan samudra atau jalur laut
- Dari konteks Indonesia, orang-orang Spanyol datang ke Indonesia melalui jalur timur, sedang Portugis melalui jalur barat, diikuti Belanda dan Inggris.
- Orang-orang Barat itu telah menemukan buruannya yakni Kepulauan Nusantara, penghasil rempah-rempah yang diibaratkan sebagai “mutiara dari timur”. Sungguh luar biasa kekayaan bumi Nusantara sebagai rahmat yang diberikan TuhanYang maha Pengasih. Oleh karena itu, harus disyukuri. Tetapi sayang waktu itu rakyat Indonesia belum bersatu padu sehingga mudah dipengaruhi oleh orang-orang Barat.
B. Menganalisis Kemaharajaan VOC
Kalau anda tinggal di Jakarta tentu sudah mengenal gedung
Museum Fatahilah atau gedung Museum Sejarah Jakarta. Apakah kamu pernah
berkunjung ke gedung museum tersebut? Apa saja koleksinya? Tahun berapa gedung
itu dibangun? Bagi Kamu yang tinggal di luar Jakarta perlu diketahui bahwa di
Jakarta terdapat sebuah bangunan Museum yang sangat megah yang dikenal dengan
Museum Fatahilah atau Museum Sejarah Jakarta. Gedung yang sekarang terletak di
Jalan Taman Fatahilah mulai dibangun tahun 1620 atas perintah Gubernur Jan
Pieter Zoen Coen. Gedung ini kemudian dikenal sebagai Stadhuis atau Balai Kota, merupakan salah satu bangunan Belanda di
Batavia yang digunakan sebagai kantor Gubernur Jenderal VOC (Vereenigde Oost Indische
Compagnie ). Gedung itulah yang dijadikan sentral untuk membangun kemaharajaan VOC, tempat awal membangun keabsolutan dan
kesewenang-wenangan monopoli perdagangan serta intervensi politik VOC di
Nusantara, bahkan di Asia pada umumnya. Hal ini dilanjutkan pada masa
pemerintahan Hindia Belanda setelah VOC dibubarkan.
Menganalisis keserakahan kongsi dagang
a. Lahirnya VOC
Seperti telah dijelaskan di muka bahwa tujuan kedatangan
orang-orang Eropa ke dunia timur antara lain untuk mendapatkan keuntungan dan
kekayaan. Tujuan ini boleh dikatakan dapat dicapai setelah mereka menemukan
rempah-rempah di Kepulauan Nusantara. Berita tentang keuntungan yang melimpah
berkat perdagangan rempah-rempah itu menyebar luas. Dengan demikian semakin
banyak orang-orang Eropa yang tertarik pergi ke Nusantara. Mereka saling
berinteraksi dan bersaing dalam meraup keuntungan berdagang. Para pedagang atau
perusahaan dagang Portugis bersaing dengan para pedagang Belanda, bersaing
dengan para pedagang Spanyol, bersaing dengan para pedagang Inggris, dan
seterusnya. Bahkan tidak hanya antarbangsa, antarkelompok atau kongsi dagang,
dalam satu bangsapun mereka saling bersaing. Oleh karena itu, untuk memperkuat
posisinya di dunia timur masing-masing kongsi dagang dari suatu negara
membentuk persekutuan dagang bersama. Sebagai contoh seperti pada tahun 1600
Inggris membentuk sebuah kongsi dagang yang diberi nama East India Company (EIC).
Kongsi dagang EIC ini kantor pusatnya berkedudukan di Kalkuta, India. Dari Kalkuta ini kekuatan dan setiap kebijakan
Ingris di dunia timur, dikendalikan. Pada tahun 1811 kedudukan Inggris begitu
kuat dan meluas bahkan pernah berhasil menempatkan kekuasaannya di Nusantara.
Persaingan yang cukup keras juga terjadi di antarperusahaan
dagang orang-orang Belanda. Masing-masing ingin memenangkan kelompoknya agar
mendapatkan keuntungan yang lebih besar. Kenyataan ini mendapat perhatian
khusus dari pihak pemerintah dan parlemen Belanda, sebab persaingan antarkongsi Belanda juga akan merugikan Kerajaan
Belanda sendiri. Terkait dengan itu, maka pemerintah dan Parlemen Belanda (Staten Generaal) pada 1598 mengusulkan agar antarkongsi dagang Belanda
bekerja sama membentuk sebuah
perusahaan dagang yang lebih besar. Usulan ini baru terealisasi empat tahun
berikutnya, yakni pada 20 Maret 1602 secara resmi dibentuklah persekutuan
kongsi dagang Belanda di Nusantara sebagai hasil fusi antarkongsi yang telah
ada. Kongsi dagang Belanda ini diberi nama Vereenigde
Oost Indische Compagnie (VOC) atau dapat disebut dengan “Perserikatan
Maskapai Perdagangan Hindia Timur/Kongsi Dagang India Timur”. VOC secara resmi
didirikan di Amsterdam. Adapun tujuan dibentuknya VOC ini antara lain untuk:
(1) menghindari persaingan yang tidak sehat antara sesama kelompok/kongsi
pedagang Belanda yang telah ada, (2) memperkuat kedudukan Belanda dalam
menghadapi persaingan dengan para pedagang negara lain.
VOC
dipimpin oleh sebuah dewan yang beranggotakan 17 orang, sehingga disebut “Dewan
Tujuh Belas” (de Heeren XVII). Mereka
terdiri dari delapan perwakilan kota pelabuhan dagang di Belanda. Markas Besar
Dewan ini berkedudukan di Amsterdam. Dalam menjalankan tugas, VOC ini memiliki
beberapa kewenangan dan hak-hak antara lain:
- melakukan monopoli perdagangan di wilayah antara Tanjung Harapan sampai dengan Selat Magelhaens, termasuk Kepulauan Nusantara,
- membentuk angkatan perang sendiri,
- melakukan peperangan,
- mengadakan perjanjian dengan raja-raja setempat,
- mencetak dan mengeluarkan mata uang sendiri,
- mengangkat pegawai sendiri, dan
- memerintah di negeri jajahan.
Sebagai sebuah kongsi dagang, dengan kewenangan dan hak-hak
di atas, menunjukkan bahwa VOC memiliki hak-hak istimewa dan kewenangan yang
sangat luas. VOC sebagai kongsi dagang bagaikan negara dalam negara.
Dengan memiliki hak untuk membentuk angkatan perang sendiri
dan boleh melakukan peperangan, maka VOC cenderung ekspansif. VOC terus
berusaha memperluas daerah-daerah di Nusantara sebagai wilayah kekuasaan dan
monopolinya. VOC juga memandang bangsa-bangsa Eropa yang lain sebagai musuhnya.
Mengawali ekspansinya tahun 1605 VOC telah berhasil mengusir Portugis dari
Ambon. Benteng pertahanan Portugis di Ambon dapat diduduki tentara VOC. Benteng
itu kemudian oleh VOC diberi nama Benteng Victoria.
Pieter Both |
Pada awal pertumbuhannya sampai tahun 1610, “Dewan Tujuh Belas” secara langsung harus menjalankan tugas-tugas dan menyelesaikan berbagai urusan VOC, termasuk urusan ekspansi untuk perluasan wilayah monopoli. Dapat Kamu bayangkan “Dewan Tujuh Belas” yang berkedudukan di Amsterdam, Belanda mengurus wilayah yang ada di Kepulauan Nusantara. Sudah barang tentu “Dewan Tujuh Belas” tidak dapat menjalankan tugas sehari-hari secara cepat dan efektif. Sementara itu persaingan dan permusuhan dengan bangsa-bangsa lain juga semakin keras. Berangkat dari permasalahan ini maka pada 1610 secara kelembagaan
diciptakan jabatan baru dalam organisasi VOC, yakni jabatan gubernur jenderal.
Gubernur jenderal merupakan jabatan tertinggi yang bertugas mengendalikan
kekuasaan di negeri jajahan VOC. Di samping itu juga dibentuk “Dewan Hindia” (Raad van Indie). Tugas “Dewan Hindia”
ini adalah memberi nasihat dan mengawasi kepemimpinan gubernur jenderal.
Gubernur jenderal VOC yang pertama adalah Pieter Both (1610-1614). Sebagai
gubernur jenderal yang pertama, Pieter Both sudah tentu harus mulai menata
organisasi kongsi dagang ini sebaik-baiknya agar harapan mendapatkan monopoli
perdagangan di Hindia Timur dapat diwujudkan. Pieter Both pertama kali
mendirikan pos perdagangan di Banten pada tahun 1610. Pada tahun itu juga
Pieter Both meninggalkan Banten dan berhasil memasuki Jayakarta. Penguasa
Jayakarta waktu itu, Pangeran Wijayakrama sangat terbuka dalam hal perdagangan.
Pedagang dari mana saja bebas berdagang, di samping dari Nusantara juga dari luar
seperti dari Portugis, Inggris, Gujarat/India, Persia, Arab, termasuk juga
Belanda. Dengan demikian Jayakarta dengan pelabuhannya Sunda Kelapa menjadi
kota dagang yang sangat ramai. Kemudian pada tahun 1611 Pieter Both berhasil
mengadakan perjanjian dengan penguasa Jayakarta, guna pembelian sebidang tanah
seluas 50x50 vadem ( satu vadem sama dengan 182 cm) yang berlokasi
di sebelah timur Muara Ciliwung. Tanah inilah yang menjadi cikal bakal hunian
dan daerah kekuasaan VOC di tanah Jawa dan menjadi cikal bakal Kota Batavia. Di
lokasi ini kemudian didirikan bangunan batu berlantai dua sebagai tempat
tinggal, kantor dan sekaligus gudang. Pieter Both juga berhasil mengadakan
perjanjian dan menanamkan pengaruhnya di Maluku dan berhasil mendirikan pos
perdagangan di Ambon.
b. VOC semakin merajalela
Pada tahun 1614 Pieter Both digantikan oleh Gubernur
Jenderal Gerard Reynst (1614-1615). Baru berjalan satu tahun ia digantikan
gubernur jenderal yang baru yakni Laurens Reael (1615-1619). Pada masa jabatan
Laurens Reael ini berhasil dibangun Gedung Mauritius yang berlokasi di tepi
Sungai Ciliwung.
Orang-orang Belanda yang tergabung dalam VOC itu memang
cerdik. Pada awalnya mereka bersikap baik dengan rakyat. Hubungan dagang dengan
kerajaan-kerajaan yang ada di Nusantara juga berjalan lancar. Bahkan seperti
telah djelaskan di atas, orang-orang Belanda di bawah pimpinan Gubernur
Jenderal Pieter Both diizinkan oleh Pangeran Wijayakrama untuk membangun tempat
tinggal dan loji di Jayakarta. Sikap baik rakyat dan para penguasa setempat ini
dimanfaatkan oleh VOC untuk semakin memperkuat kedudukannya di Nusantara. Lama
kelamaan orang-orang Belanda mulai menampakkan sikap congkak, dan sombong. Setelah
merasakan nikmatnya tinggal di Nusantara dan menikmati keuntungannya yang
melimpah dalam berdagang, Belanda semakin bernafsu ingin menguasai dan
kadang-kadang melakukan paksaan dan kekerasan. Hal ini telah menimbulkan
kebencian rakyat dan para penguasa lokal. Oleh karena itu, pada tahun 1618
Sultan Banten yang dibantu tentara Inggris di bawah Laksamana Thomas Dale
berhasil mengusir VOC dari Jayakarta. Orang-orang VOC kemudian menyingkir ke
Maluku. Setelah VOC hengkang dari Jayakarta pasukan Banten pada awal tahun 1619
juga mengusir Inggris dari Jayakarta. Dengan demikian Jayakarta sepenuhnya
dapat dikendalikan oleh Kesultanan Banten.
Tahun 1619 Gubernur Jenderal VOC Laurens Reael digantikan
oleh Gubernur Jenderal Jan Pieterzoon Coen (J.P. Coen). J.P. Coen dikenal
gubernur jenderal yang berani dan kejam serta ambisius. Oleh karena itu, merasa
bangsanya dipermalukan pasukan Banten dan Inggris di Jayakarta, maka J.P. Coen
mempersiapkan pasukan untuk menyerang Jayakarta. Armada angkatan laut dengan 18
kapal perangnya mengepung Jayakarta. Ternyata dalam waktu singkat Jayakarta
dapat diduduki VOC. Kota Jayakarta kemudian dibumihanguskan oleh J.P. Coen pada
tanggal 30 Mei 1619. Di atas puing-puing kota Jayakarta itulah dibangun kota
baru bergaya kota dan bangunan di Belanda. Kota baru itu dinamakan Batavia
sebagai pengganti nama Jayakarta.
J.P. Coen adalah gubernur jenderal yang sangat bernafsu
untuk memaksakan monopoli. Ia juga dikenal sebagai peletak dasar penjajahan VOC
di Indonesia. Disertai dengan sikap congkak dan tindakan yang kejam, J.P.Coen
berusaha meningkatkan eksploitasi kekayaan bumi Nusantara. Cara-cara VOC untuk
meningkatkan eksploitasi kekayaan alam dilakukan antara lain dengan:
- Merebut pasaran produksi pertanian, biasanya dengan memaksakan monopoli, seperti monopoli rempah-rempah di Maluku.
- Tidak ikut aktif secara langsung dalam kegiatan produksi hasil pertanian. Cara memproduksi hasil pertanian dibiarkan berada di tangan kaum Pribumi, tetapi yang penting VOC dapat memperoleh hasil-hasil pertanian itu dengan mudah, sekalipun harus dengan paksaan.
- VOC sementara cukup menduduki tempat-tempat yang strategis.
- VOC melakukan campur tangan terhadap kerajaan-kerajaan di Nusantara, terutama menyangkut usaha pengumpulan hasil bumi dan pelaksanaan monopoli. Dalam kaitan ini VOC memiliki daya tawar yang kuat, sehingga dapat menentukan harga.
- Lembaga-lembaga pemerintahan tradisional/kerajaan masih tetap dipertahankan dengan harapan bisa dipengaruhi/dapat diperalat, kalau tidak mau baru diperangi.
Setelah
berhasil membangun Batavia dan meletakkan dasar-dasar penjajahan di Nusantara,
pada tahun 1623 J.P. Coen kembali ke negari Belanda. Ia menyerahkan
kekuasaannya kepada Pieter de Carpentier. Tetapi oleh pimpinan VOC di Belanda,
J.P. Coen diminta kembali ke Batavia. Akhirnya pada tahun 1627 J.P. Coen tiba
di Batavia dan diangkat kembali sebagai Gubernur Jenderal untuk jabatan yang kedua
kalinya. Pada masa jabatan yang kedua inilah terjadi serangan tentara Mataram
di bawah Sultan Agung ke Batavia.
Batavia senantiasa memiliki posisi yang strategis bagi VOC.
Semua kebijakan dan tindakan VOC di kawasan Asia dikendalikan dari markas besar
VOC di Batavia. Di samping itu Batavia juga terletak pada persimpangan atau
menjadi penghubung jalur perdagangan internasional. Batavia menghubungkan
perdagangan di Nusantara bagian barat dengan Malaka, India, kemudian juga
menghubungkan dengan Nusantara bagian timur. Apalagi Nusantara bagian timur ini
menjadi daerah penghasil rempah-rempah yang utama, maka posisi Batavia yang
berada di tengah-tengah itu menjadi semakin strategis dalam perdagangan
rempah-rempah.
VOC semakin serakah dan bernafsu untuk menguasai Nusantara yang kaya
rempah-rempah ini. Tindakan intervensi politik terhadap kerajaan-kerajaan di
Nusantara dan pemaksaan monopoli perdagangan terus dilakukan. Politik devide et impera dan berbagai tipu daya
juga dilaksanakan demi
mendapatkan kekuasaan dan keuntungan sebesar-besarnya. Sebagai contoh, Mataram
yang merupakan kerajaan kuat di Jawa akhirnya juga dapat dikendalikan secara
penuh oleh VOC. Hal ini terjadi setelah dengan tipu muslihat VOC, Raja
Pakubuwana II
Salah satu bagian Benteng Victoria benteng yang ada di Maluku |
yang sedang dalam keadaan sakit keras dipaksa untuk
menandatangani naskah penyerahan kekuasaan Kerajaan Mataram kepada VOC pada
tahun 1749. Tidak hanya kerajaan-kerajaan di Jawa, kerajaan-kerajaan di luar
Jawa berusaha ditaklukkan. Untuk memperkokoh kedudukannya di Indonesia bagian
barat dan memperluas pengaruhnya di Sumatera, VOC berhasil menguasai Malaka
setelah mengalahkan saingannya, Portugis pada tahun 1641. Berikutnya VOC
berusaha meluaskan pengaruhnya ke Aceh. Kerajaan Makassar di bawah Sultan
Hasanuddin yang tersohor di Indonesia bagian timur juga berhasil dikalahkan
setelah terjadi Perjanjian Bongaya tahun 1667. Dari Makasar VOC juga berhasil
memaksakan kontrak dan monopoli perdagangan dengan Raja Sulaiman dari
Kalimantan Selatan. Sementara jauh sebelum itu yakni tahun 1605 VOC sudah
berhasil mengusir Portugis dari Ambon. VOC menjadi berjaya setelah berhasil
melakukan monopoli perdagangan rempah-rempah di Kepulauan Maluku. Untuk
mengendalikan pelaksanaan monopoli di kawasan ini dilaksanakan Pelayaran Hongi.
Pengaruh dan kekuasaan VOC semakin meluas. Untuk memperkuat
kebijakan monopoli ini di setiap daerah yang dipandang strategis armada VOC
diperkuat. Benteng-benteng pertahanan dibangun. Sebagai contoh Benteng
Doorstede dibangun di Saparua, Benteng Nasau di Banda, di Ambon sudah ada
Benteng Victoria, Benteng Oranye di Ternate, dan Benteng Rotterdam di Makasar.
Dalam
rangka memperluas pengaruh dan kekuasaannya itu, ternyata perhatian VOC juga
sampai ke Irian/Papua yang dikenal sebagai wilayah yang masih tertutup dengan
hutan belantara yang begitu luas. Penduduknya juga masih bersahaja dan
primitif. Orang Belanda yang pertama kali sampai ke Irian adalah Willem Janz.
Bersama armandanya rombongan Willem Janz menaiki Kapal Duyke dan berhasil
memasuki tanah Irian pada tahun 1606. Willem Janz ingin mencari kebun tanaman
rempah-rempah. Tahun 1616-1617 Le Maire dan William Schouten mengadakan survei
di daerah pantai timur laut Irian dan menemukan Kepulauan Admiralty bahkan
sampai ke New Ireland. Dengan penemuan ini maka nama William diabadikan sebagai
nama kepulauan, Kepulauan Schouten. Pada waktu orang-orang Belanda sangat
memerlukan bantuan budak, maka banyak diambil dari orang-orang Irian. Pengaruh
VOC di Irian semakin kuat. Bahkan pada tahun 1667, Pulau-pulau yang termasuk
wilayah Irian yang semula berada di bawah kekuasaan Kerajaan Tidore sudah berpindah tangan menjadi daerah kekuasaan VOC. Dengan demikian daerah pengaruh dan kekuasaan VOC sudah meluas di seluruh Nusantara.
Memahami uraian di atas, jelas bahwa VOC yang merupakan kongsi dagang itu berangkat dari usaha mencari untung kemudian dapat menanamkan pengaruh bahkan kekuasaannya di Nusantara. Fenomena ini juga terjadi pada kongsi dagang milik bangsa Eropa yang lain. Artinya, untuk memperkokoh tindakan monopoli dan memperbesar keuntungannya orang-orang Eropa itu harus memperbanyak daerah yang dikuasai (daerah koloninya). Tidak hanya daerah yang dikuasai secara ekonomi, kongsi dagang itu juga ingin mengendalikan secara politik atau memerintah daerah tersebut. Bercokollah kemudian kekuatan kolonialisme dan imperialisme.
Dalam praktiknya, antara kolonialisme dan imperialisme sulit untuk dipisahkan. Kolonialisme merupakan bentuk pengekalan imperialisme (Taufik Abdullah dan A.B. Lapian (ed), 2012). Muara kedua paham itu adalah penjajahan dari negara yang satu terhadap daerah atau bangsa yang lain. Sistem inilah yang umumnya diterapkan bangsa-bangsa Eropa yang datang di Kepulauan Nusantara, baik Portugis, Spanyol, Inggris maupun Belanda. Berangkat dari motivasi untuk memperbaiki taraf kehidupan ekonomi kemudian meningkat menjadi nafsu untuk menguasai dan mengeruk kekayaan dan keuntungan sebanyak-banyaknya dari daerah koloni untuk kejayaan bangsanya sendiri. Pihak atau bangsa lain dipandang sebagai musuh dan harus disingkirkan. Sifat keangkuhan dan keserakahan telah menghiasi perilaku kaum penjajah. Inilah sifat-sifat yang sangat dibenci dan tidak diridhoi oleh Tuhan Yang Maha Esa.
Demikian halnya dengan VOC, tidak sekedar menjadi sebuah kongsi dagang yang berusaha untuk mencari untung tetapi juga ingin menanamkan kekuasaannya di Nusantara. VOC dengan hak-hak dan kewenangan yang diberikan pemerintah dan parlemen Belanda telah melakukan penjajahan dan menguatkan akar kolonialisme dan imperialisme di Nusantara. Melalui cara-cara pemaksaan monopoli perdagangan, politik memecah belah serta tipu muslihat yang sering disertai tindak peperangan dan kekerasan, semakin memperluas daerah kekuasaan dan memperkokoh kemaharajaan
VOC. Sekali lagi tindak keserakahan dan kekerasan yang dilakukan oleh VOC itu menunjukkan mereka tidak mau bersyukur atas karunia yang diberikan Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karena itu, wajar kalau timbul perlawanan dari berbagai daerah misalnya dari Aceh, Banten, Demak, Mataram, Banjar, Makasar, dan Maluku.
c. VOC menuju kebangkrutan
Pada abad ke-17 hingga awal abad ke-18, VOC mengalami puncak kejayaan. Penguasa dan kerajaan-kerajaan lokal berhasil diungguli. Kerajaan-kerajaan itu sudah menjadi bawahan dan pelayan kepentingan VOC. Jalur perdagangan yang dikendalikan VOC menyebar luas membentang dari Amsterdam, Tanjung Harapan, India sampai Irian/Papua. Keuntungan perdagangan rempah-rempah juga melimpah. Namun di balik itu ada persoalan-persoalan yang bermunculan. Semakin banyak daerah yang dikuasai ternyata juga membuat pengelolaan semakin kompleks. Semakin luas daerahnya, pengawasan juga semakin sulit. Kota Batavia semakin ramai dan semakin padat. Orang-orang timur asing seperti Cina dan Jepang diizinkan tinggal di Batavia. Sebagai pusat pemerintahan VOC, Batavia juga semakin dibanjiri penduduk, sehingga tidak jarang menimbulkan masalah-masalah sosial.
Pada tahun 1749 terjadi perubahan yang mendasar dalam lembaga kepengurusan VOC. Pada tanggal 27 Maret 1749, Parlemen Belanda mengeluarkan UU yang menetapkan bahwa Raja Willem IV sebagai penguasa tertinggi VOC. Dengan demikian, anggota pengurus “Dewan Tujuh Belas” yang semula dipilih oleh parlemen dan provinsi pemegang saham (kecuali Provinsi Holland), kemudian sepenuhnya menjadi tanggung jawab Raja. Raja juga menjadi panglima tertinggi tentara VOC. Dengan demikian VOC berada di bawah kekuasaan raja. Pengurus VOC mulai akrab dengan pemerintah Belanda. Kepentingan pemegang saham menjadi terabaikan. Pengurus tidak lagi berpikir memajukan usaha perdagangannya, tetapi berpikir untuk memperkaya diri. VOC sebagai kongsi dagang swasta keuntunganya semakin merosot. Bahkan tercatat pada tahun 1673 VOC tidak mampu membayar dividen. Kas VOC juga merosot tajam karena serangkaian perang yang telah dilakukan VOC dan beban hutang pun tidak terelakkan.
Sementara itu para pejabat VOC juga semakin feodal. Pada tanggal 24 Juni 1719 Gubernur Jenderal Henricus Zwaardecroon mengeluarkan ordonansi untuk mengatur secara rinci cara penghormatan terhadap gubernur jenderal, kepada Dewan Hindia beserta isteri dan anak-anaknya.
Misalnya, semua orang harus turun dari kendaraan bila berpapasan dengan para
pejabat tinggi tersebut, warga keturunan Eropa harus menundukkan kepala, dan
warga bukan orang Eropa harus menyembah. Kemudian Gubernur Jenderal Jacob Mosel
juga mengeluarkan ordonansi baru tahun 1754. Ordonansi ini mengatur kendaraan
kebesaran. Misalnya kereta ditarik enam ekor kuda, hiasan berwarna emas dan
kusir orang Eropa untuk kereta kebesaran gubernur jenderal, sedang untuk
anggota dewan hindia kuda yang menarik kereta hanya empat ekor dan hiasannya
warna perak. Nampaknya para pejabat VOC sudah gila hormat dan ingin
berfoya-foya. Sudah barang tentu ini juga membebani anggaran.
Posisi
jabatan dan berbagai simbol kehormatan tersebut tidaklah lengkap tanpa hadiah
dan upeti. Sistem upeti ini ternyata juga terjadi di kalangan para pejabat,
dari pejabat di bawahnya kepada pejabat yang lebih tinggi. Hal ini semua
terkait dengan mekanisme pergantian jabatan di tubuh organisasi VOC. Semua
bermuatan korupsi. Gubernur Jenderal Van Hoorn konon menumpuk harta sampai 10
juta gulden ketika kembali ke Belanda pada tahun 1709, sementara gaji resminya
hanya sekitar 700 gulden sebulan. Gubernur Maluku berhasil mengumpulkan
kekayaan 20-30 ribu gulden dalam waktu 4-5 tahun, dengan gaji sebesar 150
gulden per bulan. Untuk menjadi karyawan VOC juga harus dengan menyogok.
Pengurus VOC di Belanda memasang tarif sebesar f 3.500,- bagi yang ingin
menjadi pegawai onderkoopman (pada
hal gaji resmi per bulan sebagai
onderkoopman hanya f.40,-), untuk menjadi kapitein harus menyogok f.2000,- dan begitu seterusnya yang semua
telah merugikan uang lembaga. Demikianlah para pejabat VOC terjangkit penyakit
korupsi karena ingin kehormatan dan kemewahan sesaat. Beban utang VOC semakin
berat, sehingga akhirnya VOC sendiri bangkrut. Bahkan ada sebuah ungkapan, VOC
kepanjangan dari Vergaan Onder Corruptie (tenggelam
karena korupsi) (Taufik Abdullah dan A.B.
Lapian (ed), 2012).
Dalam kondisi bangkrut VOC tidak dapat berbuat banyak. Menurut penilaian pemerintah keberadaan VOC sebagai kongsi dagang yang menjalankan roda pemerintahan di negeri jajahan tidak dapat dilanjutkan lagi. VOC telah bangkrut, oleh karena itu, pada tanggal 31 Desember 1799 VOC dinyatakan bubar. Semua utang piutang dan segala milik VOC diambil alih oleh pemerintah. Pada waktu itu sebagai Gubernur Jendral VOC yang terakhir Van Overstraten masih harus bertanggung jawab tentang keadaan di Hindia Belanda. Ia bertugas mempertahankan Jawa dari serangan Inggris.
KESIMPULAN
- Yang dimaksud dunia Timur penghasil rempah-rempah itu ternyata Kepulauan Nusantara.
- Setelah menemukan daerah penghasil rempah-rempah, perdaganganpun meningkat. Untuk menghindari persaingan antarpedagang satu bangsa dibentuklah kongsi dagang. Misalnya Inggris membentuk IEC berpusat di India, Belanda mendirikan VOC di Indonesia.
- VOC mula-mula dipimpin oleh Dewan Tujuh Belas (de Heeren XVII) yang berkedudukan di Amsterdam, kemudian agar lebih efektif dan produktif diangkat jabatan gubernur jenderal yang berkedudukan di Hindia.
- VOC sebagai kongsi dagang yang ingin mencari untung sebanyak-banyaknya, kemudian semakin bernafsu untuk mengusai daerah-daerah di Nusantara dengan memerangi beberapa kerajaan yang ada.VOC akhirnya menjadi kongsi penjajah. Mulailah bercokol kolonialisme dan imperialisme di Indonesia.
- Pada masa kejayaannya, wilayah kekuasaan VOC semakin luas. Ternyata hal ini menimbulkan masalah dalam hal manajemen pemerintahan. Pengawasan tidak dapat berjalan secara baik. Berbagai penyelewengan mulai terjadi. Pegawai atau pengurus VOC mulai hidup mewah dan berfoya-foya. Penyakit korupsi semakin merebak. Utang VOC meningkat, dan kas habis untuk membiayai perang. VOC berada pada posisi bangkrut.
- Tanggal 31 Desember 1799, VOC dibubarkan.
C. Mengevaluasi Penjajahan Pemerintah Hindia Belanda
Perkebunan Tembakau |
Tentu anda sudah akrab dengan gambar-gambar di atas. Gambar itu adalah gambar tanaman kopi, tembakau, dan tebu. Ketiga jenis tanaman itu sekarang begitu populer di masyarakat Indonesia. Tembakau adalah bahan utama untuk rokok. Sementara kopi kini menjadi minuman yang sangat terkenal di kalangan rakyat Indonesia. Begitu juga tebu sebagai bahan pembuat gula pasir. Sejak zaman kolonial di Indonesia telah berkembang penanaman kopi, tembakau dan tebu. Ketiga jenis tanaman telah menjadi bahan ekspor.
Ketiga jenis tanaman tersebut secara historis memiliki arti
yang sangat penting, ditambah dengan tanaman-tanaman yang lain seperti nila dan
karet. Tanaman tersebut telah menjadi tanaman pokok pada masa kolonial di
Indonesia, terutama pada era Tanam Paksa (Cultuurstelsel).
Pada masa itu Indonesia berada di bawah penjajahan pemerintah kolonial Belanda.
Kebijakan Tanam Paksa ini telah menyengsarakan rakyat Indonesia. Nah, bagaimana
kehidupan rakyat pada masa penjajahan pemerintah kolonial, berikut ini
uraiannya tentang “Menganalisis Penjajahan Pemerintah Hindia Belanda”.
1. Masa Pemerintahan Republik Bataaf
Pada tahun 1795 terjadi perubahan di Belanda. Muncullah
kelompok yang menamakan dirinya kaum patriot. Kaum ini terpengaruh oleh
semboyan Revolusi Perancis: liberte
(kemerdekaan), egalite (persamaan),
dan fraternite (persaudaraan).
Berdasarkan ide dan paham yang digelorakan dalam Revolusi Perancis itu maka
kaum patriot menghendaki perlunya negara kesatuan. Bertepatan dengan keinginan
itu pada awal tahun 1795 pasukan Perancis menyerbu Belanda. Raja Willem V
melarikan diri ke Inggris. Belanda dikuasai Perancis. Dibentuklah pemerintahan
baru sebagai bagian dari Perancis yang dinamakan Republik Bataaf (1795-1806).
Sebagai pemimpin Republik Bataaf adalah Louis Napoleon saudara dari Napoleon
Bonaparte.
Sementara itu dalam pengasingan, Raja Willem V oleh
pemerintah Inggris ditempatkan di Kota Kew. Raja Willem V kemudian mengeluarkan
perintah yang terkenal dengan “Surat-surat Kew”. Isi perintah itu adalah agar
para penguasa di negeri jajahan Belanda menyerahkan wilayahnya kepada Inggris
bukan kepada Perancis. Dengan “Surat-surat Kew” itu pihak Inggris bertindak
cepat dengan mengambil alih beberapa daerah di Hindia seperti Padang pada tahun
1795, kemudian menguasai Ambon dan Banda tahun 1796. Inggris juga memperkuat
armadanya untuk melakukan blokade terhadap Batavia.
Sudah barang tentu pihak Perancis dan Republik Bataaf juga tidak ingin ketinggalan untuk segera mengambil alih seluruh daerah bekas kekuasaan VOC di Kepulauan Nusantara. Karena Republik Bataaf ini merupakan vassal dari Perancis, maka kebijakan-kebijakan Republik Bataaf untuk mengatur pemerintahan di Hindia masih juga terpengaruh oleh Perancis. Kebijakan yang utama bagi Perancis waktu itu adalah memerangi Inggris. Oleh karena itu, untuk mempertahankan Kepulauan Nusantara dari serangan Inggris diperlukan pemimpin yang kuat. Ditunjuklah seorang muda dari kaum patriot untuk memimpin Hindia, yakni Herman Williem Daendels. Ia dikenal sebagai tokoh muda yang revolusioner.
a. Pemerintahan Herman Williem Daendels (1808-1811)
H.W. Daendels sebagai Gubernur Jenderal memerintah di Nusantara pada tahun 1808-1811. Tugas utama Daendels adalah mempertahankan Jawa agar tidak dikuasai Inggris. Sebagai pemimpin yang ditunjuk oleh Pemerintahan Republik Bataaf, Daendels harus memperkuat pertahanan dan juga memperbaiki administrasi pemerintahan, serta kehidupan sosial ekonomi di Nusantara khususnya di tanah Jawa.
Daendels |
Daendels adalah kaum patriot dan liberal dari Belanda yang sangat dipengaruhi oleh ajaran Revolusi Perancis. Di dalam berbagai pidatonya, Daendels tidak lupa mengutip semboyan Revolusi Perancis. Daendels ingin menanamkan jiwa kemerdekaan, persamaan dan persaudaraan di lingkungan masyarakat Hindia. Oleh karena itu, ia ingin memberantas praktik-praktik feodalisme. Hal ini dimaksudkan agar masyarakat lebih dinamis dan produktif untuk kepentingan negeri induk (Republik Bataaf). Langkah ini juga untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan dan sekaligus membatasi hak-hak para bupati yang terkait dengan penguasaan atas tanah dan penggunaan tenaga rakyat.
Dalam rangka mengemban tugas sebagai gubernur jenderal dan memenuhi pesan dari pemerintah induk, Daendels melakukan beberapa langkah strategis, terutama menyangkut bidang pertahanan-keamanan, administrasi pemerintahan, dan sosial ekonomi.
Bidang pertahanan dan keamanan
Memenuhi tugas mempertahankan Jawa dari serangan Inggris, Daendels melakukan langkah-langkah:
- Membangun benteng-benteng pertahanan baru
- Membangun pangkalan angkatan laut di Anyer dan Ujungkulon. Namun pembangunan pangkalan di Ujungkulon boleh dikatakan tidak berhasil
- Meningkatkan jumlah tentara, dengan mengambil orang-orang pribumi karena pada waktu pergi ke Nusantara, Daendels tidak membawa pasukan. Oleh karena itu, Daendels segera menambah jumlah pasukan yang diambil dari orang-orang pribumi, yakni dari 4.000 orang menjadi 18.000 orang (baca Ricklefs, 2005)
- Membangun jalan raya dari Anyer (Jawa Barat, sekarang Provinsi Banten) sampai Panarukan (ujung timur Pulau Jawa, Provinsi Jawa Timur) sepanjang kurang lebih 1.100 km. Jalan ini sering dinamakan Jalan Daendels.
Garis berwarna merah menunjukkan jalur jalan raya Anyer – Panarukan |
Pelaksanaan program pembangunan di bidang pertahanan dan
keamanan tersebut telah merubah citra Daendels. Pada awalnya Daendels dikenal
sebagai tokoh muda yang demokratis yang dijiwai panji-panji Revolusi Perancis
dengan semboyannya: liberte, egalite
dan fraternite. Ia berubah menjadi
diktator. Daendels juga mengerahkan rakyat untuk kerja rodi. Dengan kerja rodi
itu maka rakyat yang sudah jatuh miskin menjadi semakin menderita, apalagi
kerja rodi dalam pembuatan pangkalan di Ujungkulon, karena lokasi yang begitu
jauh, sulit dicapai dan penuh dengan sarang nyamuk malaria. Oleh karena itu,
wajar kalau kemudian banyak rakyat Hindia yang jatuh sakit bahkan tidak sedikit
yang meninggal.
Daendels juga melakukan berbagai perubahan di bidang pemerintahan. Ia
banyak melakukan campur tangan dan perubahan dalam tata cara dan adat istiadat
di dalam kerajaan-kerajaan di Jawa. Kalau sebelumnya pejabat VOC datang
berkunjung ke istana Kasunanan Surakarta ataupun Kasultanan Yogyakarta ada tata
cara tertentu, misalnya harus memberi hormat kepada raja, tidak boleh memakai
payung emas, kemudian membuka topi dan harus duduk di kursi yang lebih rendah
dari dampar (kursi singgasana raja),
Daendels tidak mau menjalani seremoni yang seperti itu. Ia harus pakai payung
emas, duduk di kursi sama tinggi dengan raja, dan tidak perlu membuka topi.
Sunan Pakubuwana IV dari Kasunanan Surakarta terpaksa menerima, tetapi Sultan
Hamengkubuwana II menolaknya (Baca Ricklefs, 2005). Penolakan Hamengkubuwana II
terhadap kebijakan Daendels menyebabkan terjadinya perseteruan antara kedua
belah pihak. Untuk memperkuat kedudukannya di Jawa, Daendels berhasil
mempengaruhi Mangkunegara II untuk membentuk pasukan “Legiun Mangkunegara”
dengan kekuatan 1.150 orang prajurit. Pasukan ini siap sewaktu-waktu untuk
membantu pasukan Daendels apabila terjadi perang. Dengan kekuatan yang ia
miliki, Daendels semakin congkak dan berani. Daendels mulai melakukan intervensi terhadap
pemerintahan kerajaan-kerajaan lokal, misalnya saat terjadi pergantian raja.
Melihat bentuk intervensi dan kesewenang-wenengan Daendels,
Raden Rangga terdorong untuk melancarkan perlawanan terhadap kekuatan kolonial.
Raden Rangga adalah kepala pemerintahan mancanegara
di bawah Kasultanan Yogyakarta. Oleh karena itu, Sultan Hamengkubuwana mendukung adanya perlawanan yang dilancarkan Raden Rangga.
Namun perlawanan Raden Rangga ini segera dapat ditumpas dan Raden Rangga
sendiri terbunuh. Setelah berhasil mematahkan perlawanan Raden Rangga, Daendels
kemudian memberikan ultimatum kepada Sultan Hamengkubuwana II agar menyetujui
pengangkatan kembali Danureja II sebagai patih dan Sultan harus menanggung
kerugian perang akibat perlawanan Raden Rangga. Sultan Hamengkubuwana II
menolak ultimatum itu. Akibatnya, pada Desember 1810 Daendels menuju Yogyakarta
dengan membawa 3.200 orang serdadu. Dengan kekuatan ini Daendels berhasil
memaksa Hamengkubuwana II untuk turun tahta dan menyerahkan kekuasaannya kepada
puteranya sebagai Sultan Hamengkubuwana III. Hamengkubuwana III ini sering
disebut Sultan Raja dan Hamengkubuwana II yang masih diizinkan tinggal di
lingkungan istana sering disebut Sultan Sepuh.
Di
samping hal-hal di atas, Daendels juga melakukan beberapa tindakan yang dapat
memperkuat kedudukannya di Nusantara. Beberapa tindakan yang dimaksud adalah
sebagai berikut.
- Membatasi secara ketat kekuasaan raja-raja di Nusantara.
- Membagi Pulau Jawa menjadi sembilan daerah prefectuur/prefektur (wilayah yang memiliki otoritas). Masing-masing prefektur dikepalai oleh seorang prefek. Setiap prefek langsung bertanggung jawab kepada Gubernur Jenderal. Di dalam struktur pemerintahan kolonial, setiap prefek membawahi para bupati.
- Kedudukan bupati sebagai penguasa tradisional diubah menjadi pegawai pemerintah (kolonial) yang digaji. Sekalipun demikian para bupati masih memiliki hak-hak feodal tertentu.
- Kerajaan Banten dan Cirebon dihapuskan dan daerahnya dinyatakan sebagai wilayah pemerintahan kolonial.
Bidang peradilan
Untuk memperlancar jalannya pemerintahan dan mengatur ketertiban dalam kehidupan bermasyarakat, Daendels juga melakukan perbaikan di bidang peradilan. Daendels berusaha memberantas berbagai penyelewengan dengan mengeluarkan berbagai peraturan.
- Daendels membentuk tiga jenis peradilan: (1) peradilan untuk orang Eropa, (2) peradilan untuk orang-orang Timur Asing, dan (3) peradilan untuk orang-orang pribumi. Peradilan untuk kaum pribumi dibentuk di setiap prefektur, misalnya di Batavia, Surabaya, dan Semarang.
- Peraturan untuk pemberantasan korupsi tanpa pandang bulu. Pemberantasan korupsi diberlakukan terhadap siapa saja termasuk orang-orang Eropa, dan Timur Asing.
Bidang sosial ekonomi
Daendels juga diberi tugas untuk memperbaiki keadaan di Tanah Hindia, sembari mengumpulkan dana untuk biaya perang. Oleh karena itu, Daendels melakukan berbagai tindakan yang dapat mendatangkan keuntungan bagi pemerintah kolonial. Beberapa kebijakan dan tindakan Daendels itu misalnya:
- Daendels memaksakan berbagai perjanjian dengan penguasa Surakarta dan Yogyakarta yang intinya melakukan penggabungan banyak daerah ke dalam wilayah pemerintahan kolonial, misalnya daerah Cirebon,
- Meningkatkan usaha pemasukan uang dengan cara pemungutan pajak,
- Meningkatkan penanaman tanaman yang hasilnya laku di pasaran dunia,
- Rakyat diharuskan melaksanakan penyerahan wajib hasil pertaniannya,
- Melakukan penjualan tanah-tanah kepada pihak swasta.
Pemerintahan Janssen (1811)
Pada bulan Mei 1811, Daendels dipanggil pulang ke negerinya. Ia digantikan oleh Jan Willem Janssen. Janssen dikenal seorang politikus berkebangsaan Belanda. Sebelumnya Janssen menjabat sebagai Gubernur Jenderal di Tanjung Harapan (Afrika Selatan) tahun 1802-1806. Pada tahun 1806 itu Janssen terusir dari Tanjung Harapan karena daerah itu jatuh ke tangan Inggris. Pada tahun 1810 Janssen diperintahkan pergi ke Jawa dan akhirnya menggantikan Daendels pada tahun 1811. Janssen mencoba memperbaiki keadaan yang telah ditinggalkan Daendels.
Namun harus diingat bahwa beberapa daerah di Hindia sudah jatuh ke tangan Inggris. Sementara itu penguasa Inggris di India, Lord Minto telah memerintahkan Thomas Stamford Raffles yang berkedudukan di Pulau Penang untuk segera menguasai Jawa. Raffles segera mempersiapkan armadanya untuk menyeberangi Laut Jawa. Pengalaman pahit Janssen saat terusir dari Tanjung Harapan pun terulang. Pada Tanggal 4 Agustus 1811 sebanyak 60 kapal Inggris di bawah komando Raffles telah muncul di perairan sekitar Batavia.
Beberapa minggu berikutnya, tepatnya pada tanggal 26 Agustus 1811 Batavia jatuh ke tangan Inggris. Janssen berusaha menyingkir ke Semarang bergabung dengan Legiun Mangkunegara dan prajurit-prajurit dari Yogyakarta serta Surakarta. Namun pasukan Inggris lebih kuat sehingga berhasil memukul mundur Janssen beserta pasukannya. Janssen kemudian mundur ke Salatiga dan akhirnya menyerah di Tuntang. Penyerahan Janssen secara resmi ke pihak Inggris ditandai dengan adanya Kapitulasi Tuntang pada tanggal 18 September 1811.
Jan Willem Janssen |
2. Perkembangan Kolonialisme Inggris di Indonesia (1811-1816)
Tanggal 18 September 1811 adalah tanggal dimulainya kekuasaan Inggris di Hindia. Gubernur Jenderal Lord Minto secara resmi mengangkat Raffles sebagai penguasanya. Pusat pemerintahan Inggris berkedudukan di Batavia. Sebagai penguasa di Hindia, Raffles mulai melakukan langkah-langkah untuk memperkuat kedudukan Inggris di tanah jajahan. Dalam rangka menjalankan pemerintahannya, Raffles berpegang pada tiga prinsip.
Raffles |
Pertama, segala bentuk kerja rodi dan penyerahan wajib dihapus, diganti penanaman bebas oleh rakyat. Kedua, peranan para bupati sebagai pemungut pajak dihapuskan dan para bupati dimasukkan sebagai bagian pemerintah kolonial. Ketiga, atas dasar pandangan bahwa tanah itu milik pemerintah, maka rakyat penggarap dianggap sebagai penyewa. Berangkat dari tiga prinsip itu Raffles melakukan beberapa langkah, baik yang menyangkut bidang politik pemerintahan maupun bidang sosial ekonomi.
a. Kebijakan dalam bidang pemerintahan
Dalam menjalankan tugas di Hindia, Raffles didampingi oleh para penasihat yang terdiri atas: Gillespie, Mutinghe, dan Crassen. Secara geopolitik, Jawa dibagi menjadi 16 karesidenan. Selanjutnya untuk memperkuat kedudukan dan mempertahankan keberlangsungan kekuasaan Inggris, Raffles mengambil strategi membina hubungan baik dengan para pangeran dan penguasa yang sekiranya membenci Belanda. Strategi ini sekaligus sebagai upaya mempercepat penguasaan Pulau Jawa sebagai basis kekuatan untuk menguasai Kepulauan Nusantara. Sebagai realisasinya, Raffles berhasil menjalin hubungan dengan raja-raja di Jawa dan Palembang untuk mengusir Belanda dari Hindia. Tetapi nampaknya Raffles tidak tahu balas budi. Setelah berhasil mengusir Belanda dari Hindia, Raffles mulai tidak simpati terhadap tokoh-tokoh yang membantunya. Sebagai contoh dengan apa yang terjadi pada Raja Palembang, Baharuddin. Raja Baharuddin termasuk raja yang banyak jasanya terhadap Raffles dalam mengenyahkan Belanda dari Nusantara, tetapi justru Raffles ikut mendukung usaha Najamuddin untuk menggulingkan Raja Baharuddin.
Pada waktu Raffles berkuasa, konflik di lingkungan istana Kasultanan Yogyakarta nampaknya belum surut. Sultan Sepuh yang pernah dipecat oleh Daendels, menyatakan diri kembali sebagai Sultan Hamengkubuwana II dan Sultan Raja dikembalikan pada kedudukannya sebagai putera mahkota. Tetapi nampaknya Sultan Raja tidak puas dengan tindakan ayahandanya, Hamengkubuwana II. Melalui seorang perantara bernama Babah Jien Sing, Sultan Raja berkirim surat kepada Raffles. Surat itu isinya melaporkan bahwa di bawah pemerintahan Hamengkubuwana II, Yogyakarta menjadi kacau. Dengan membaca isi surat dari Sultan Raja itu, Raffles menyimpulkan bahwa Sultan Hamengkubuwana II seorang yang keras dan tidak mungkin diajak kerja sama bahkan bisa jadi akan menjadi duri dalam pemerintahan Raffles di tanah Jawa. Oleh karena itu, Raffles segera mengirim pasukan di bawah pimpinan Kolonel Gillespie untuk menyerang Keraton Yogyakarta dan memaksa Sultan Hamengkubuwana II turun dari tahta. Sultan Hamengkubuwana II berhasil diturunkan dan Sultan Raja dikembalikan sebagai Sultan Hamengkubuwana
Sebagai imbalannya Hamengkubuwana III harus menandatangani kontrak bersama Inggris. Isi politik kontrak itu antara lain sebagai berikut.
- Sultan Raja secara resmi ditetapkan sebagai Sultan Hamengkubuwana III, dan Pangeran Natakusuma (saudara Sultan Sepuh) ditetapkan sebagai penguasa tersendiri di wilayah bagian dari Kasultanan Yogyakarta dengan gelar Paku Alam I.
- Sultan Hamengkubuwana II dengan puteranya Pangeran Mangkudiningrat diasingkan ke Penang.
- Semua harta benda milik Sultan Sepuh selama menjabat sebagai sultan dirampas menjadi milik pemerintah Inggris.
b. Tindakan dalam bidang ekonomi
Raffles tidak ubahnya Daendels, bisa dikatakan adalah tokoh pembaru dalam menata tanah jajahan. Pandangannya di bidang ekonomi juga cukup revolusioner.
Yang jelas Raffles telah melakukan beberapa tindakan untuk
memajukan perekonomian di Hindia. Tetapi program itu tujuan utamanya untuk
meningkatkan keuntungan pemerintah kolonial. Beberapa kebijakan dan tindakan
yang dijalankan Raffles antara lain sebagai berikut.
- Pelaksanaan sistem sewa tanah atau pajak tanah (land rent) yang kemudian meletakkan dasar bagi perkembangan sistem perekonomian uang.
- Penghapusan pajak dan penyerahan wajib hasil bumi.
- Penghapusan kerja rodi dan perbudakan.
- Penghapusan sistem monopoli.
- Peletakan desa sebagai unit administrasi penjajahan.
Kebijakan
dan program land rent yang
dicanangkan Raffles tersebut tidak terlepas dari pandangannya mengenai tanah
sebagai faktor produksi. Menurut Raffles, pemerintah adalah satu-satunya
pemilik tanah. Dengan demikian sudah sewajarnya apabila penduduk Jawa menjadi
penyewa dengan membayar pajak sewa tanah dari tanah yang diolahnya. Pajak
dipungut perorangan. Jumlah pungutannya disesuaikan dengan jenis dan produksi
tanah. Tanah yang paling produktif akan membayar pajak sekitar 1/2 dari hasil
dan tanah yang paling tidak produktif hanya 1/4 dari hasil. Kalau dirata-rata
setiap wajib pajak itu akan menyerahkan sekitar 2/5 dari hasil. Setelah itu
petani bebas menggunakan sisanya.
Pajak
yang dibayarkan penduduk diharapkan berupa uang. Tetapi kalau terpaksa tidak
berupa uang dapat juga dibayar dengan barang lain misalnya beras. Kalau dibayar
dengan uang, diserahkan kepada kepala desa untuk kemudian disetorkan ke kantor
residen. Tetapi kalau dengan beras yang bersangkutan harus mengirimnya ke
kantor residen setempat atas biaya sendiri. Hal ini dimaksudkan untuk
mengurangi ulah pimpinan setempat yang sering memotong/mengurangi penyerahan
hasil panen itu. Kita tahu bahwa para pimpinan atau pejabat Pribumi sudah
dialihfungsikan menjadi pegawai pemerintah yang digaji. Pelaksanaan sistem land rent
itu diharapkan dapat lebih mengembangkan
sistem ekonomi uang di Hindia.
Kemudian ditempatkannya desa sebagai unit administrasi
pelaksanaan pemerintah, dimaksudkan agar desa menjadi lebih terbuka sehingga bisa
berkembang. Kalau desa berkembang maka produksi juga akan meningkat, hidup rakyat bertambah baik, sehingga hasil
penarikan pajak tanah juga akan bertambah besar. Raffles juga ingin memberikan
kebebasan bagi para petani untuk menanam tanaman yang sekiranya lebih laku di
pasar dunia, seperti kopi, tebu, dan nila.
Raffles memang orang yang berpandangan maju. Ia ingin
memperbaiki tanah jajahan, termasuk ingin meningkatkan kemakmuran rakyat.
Tetapi dalam pelaksanaan di lapangan menghadapi berbagai kendala. Budaya dan
kebiasaan petani sulit diubah, pengawasan pemerintah kurang, dalam mengatur
rakyat peran kepala desa dan bupati lebih kuat dari pada asisten residen yang
berasal dari orang-orang Eropa. Raffles juga sulit melepaskan kultur sebagai
penjajah. Kerja rodi, perbudakan dan juga monopoli masih juga dilaksanakan. Misalnya
kerja rodi untuk pembuatan dan perbaikan jalan ataupun jembatan, dan melakukan
monopoli garam. Secara umum Raffles boleh dikatakan kurang berhasil untuk
mengendalikan tanah jajahan sesuai dengan idenya. Pemerintah Inggris tidak mendapat keuntungan yang berarti. Sementara rakyat juga tetap menderita.
3. Dominasi Pemerintahan Kolonial Belanda
Tahun 1816 Raffles mengakhiri pemerintahannya di Hindia. Pemerintah Inggris sebenarnya telah menunjuk John Fendall untuk menggantikan Raffles. Tetapi pada tahun 1814 sudah diadakan Konvensi London. Salah satu isi Konvensi London adalah Inggris harus mengembalikan tanah jajahan di Hindia kepada Belanda. Dengan demikian pada tahun 1816 Kepulauan Nusantara kembali dikuasai oleh Belanda. Sejak itu dimulailah Pemerintahan Kolonial Belanda.
a. Jalan tengah bersama Komisaris Jenderal
Setelah kembali ke tangan Belanda, tanah Hindia diperintah oleh badan baru yang diberi nama Komisaris Jenderal. Komisaris Jenderal ini dibentuk oleh Pangeran Willem VI yang terdiri atas tiga orang, yakni: Cornelis Theodorus Elout (ketua), Arnold Ardiaan Buyskes (anggota), dan Alexander Gerard Philip Baron Van der Capellen (anggota). Sebagai rambu-rambu pelaksanaan pemerintahan di negeri jajahan Pangeran Willem VI mengeluarkan Undang-Undang Pemerintah untuk negeri jajahan (Regerings Reglement) pada tahun 1815. Salah satu pasal dari undang-undang tersebut menegaskan bahwa pelaksanaan pertanian dilakukan secara bebas. Hal ini menunjukkan bahwa ada relevansi dengan keinginan kaum liberal sebagaimana diusulkan oleh Dirk van Hogendorp.
Berbekal ketentuan dalam undang-undang tersebut ketiga anggota Komisaris Jenderal itu berangkat ke Hindia Belanda. Ketiganya sepakat untuk mengadopsi beberapa kebijakan yang pernah diterapkan oleh Raffles. Mereka sampai di Batavia pada 27 April 1816. Ketika melihat kenyataan di lapangan, Ketiga Komisaris Jenderal itu bimbang untuk menerapkan prinsip-prinsip liberalisme dalam mengelola tanah jajahan di Nusantara. Hindia dalam keadaan terus merosot dan pemerintah mengalami kerugian. Kas negara di Belanda dalam keadaan menipis. Mereka sadar bahwa tugas mereka harus dilaksanakan secepatnya untuk dapat mengatasi persoalan ekonomi baik di Tanah Jajahan maupun di Negeri Induk. Sementara itu perdebatan antar kaum liberal dan kaum konservatif terkait dengan pengelolaan tanah jajahan untuk mendatangkan keuntungan sebesar-besarnya belum mencapai titik temu. Kaum liberal berkeyakinan bahwa pengelolaan negeri jajahan akan mendatangkan keuntungan yang besar bila diserahkan kepada swasta, dan rakyat diberi kebebasan dalam menanam. Sedang kelompok konservatif berpendapat pengelolaan tanah jajahan akan menghasilkan keuntungan apabila langsung ditangani pemerintah dengan pengawasan yang ketat.
Dengan mempertimbangkan amanat UU Pemerintah dan melihat kenyataan di lapangan serta memperhatikan kaum liberal dan kaum konservatif, Komisaris Jenderal sepakat untuk menerapkan kebijakan jalan tengah. Maksudnya, eksploitasi kekayaan di tanah jajahan langsung ditangani pemerintah Hindia Belanda agar segera mendatangkan keuntungan bagi negeri induk, di samping mengusahakan kebebasan penduduk dan pihak swasta untuk berusaha di tanah jajahan. Tetapi kebijakan jalan tengah ini tidak dapat merubah keadaan. Akhirnya pada tanggal 22 Desember 1818 Pemerintah memberlakukan UU yang menegaskan bahwa penguasa tertinggi di tanah jajahan adalah gubernur jenderal. Van der Capellen kemudian ditunjuk sebagai Gubernur Jenderal. Ia ingin melanjutkan strategi jalan tengah. Tetapi kebijakan Van der Capellen itu berkembang ke arah sewa tanah dengan penghapus peran penguasa tradisional (bupati dan para penguasa setempat).
Kemudian Van der Capellen juga menarik pajak tetap yang sangat memberatkan rakyat. Timbul banyak protes dan mendorong terjadinya perlawanan. Kemudian ia dipanggil pulang dan digantikan oleh Du Bus Gisignies. Ia berkeinginan membangun modal dan meningkatkan ekspor. Tetapi program ini tidak berhasil karena rakyat tetap miskin sehingga tidak mampu menyediakan barang-barang yang diekspor. Yang terjadi justru impor lebih besar dibanding ekspor. Tentu ini sangat merugikan bagi pemerintah Belanda. Kondisi tanah jajahan dalam kondisi krisis, kas negara di negeri induk pun kosong. Hal ini disebabkan dana banyak tersedot untuk pembiayaan perang di tanah jajahan. Sebagai contoh Perang Diponegoro yang baru berjalan satu tahun sudah menguras dana yang luar biasa, sehingga pemerintahan Hindia Belanda dan pemerintah negeri induk mengalami kesulitan ekonomi. Kesulitan ekonomi Belanda ini semakin diperberat dengan adanya pemisahan antara Belanda dan Belgia pada tahun 1830. Dengan pemisahan ini Belanda banyak kehilangan lahan industri sehingga pemasukan negara juga semakin berkurang.
Van der Capellen |
b. Sistem Tanam Paksa
Pemerintah
Belanda terus mencari cara bagaimana untuk mengatasi problem ekonomi. Berbagai
pendapat mulai dilontarkan oleh para para pemimpin dan tokoh masyarakat. Salah
satunya pada tahun 1829 seorang tokoh bernama Johannes Van den Bosch mengajukan
kepada raja Belanda usulan yang berkaitan dengan cara melaksanakan politik
kolonial Belanda di Hindia. Van den Bosch berpendapat untuk memperbaiki
ekonomi, di tanah jajahan harus dilakukan penanaman tanaman yang dapat laku
dijual di pasar dunia. Sesuai dengan keadaan di negeri jajahan, maka penanaman
dilakukan dengan paksa. Mereka menggunakan konsep daerah jajahan sebagai tempat
mengambil keuntungan bagi negeri induk. Seperti dikatakan Baud, Jawa adalah “gabus
tempat Nederland mengapung”. Jadi dengan kata lain Jawa dipandang sebagai sapi
perahan.
Konsep
Bosch itulah yang kemudian dikenal dengan Cultuurstelsel
(Tanam Paksa). Dengan cara ini diharapkan perekonomian Belanda dapat dengan
cepat pulih dan semakin meningkat. Bahkan dalam salah satu tulisan Van den
Bosch membuat suatu perkiraan bahwa dengan Tanam Paksa, hasil tanaman ekspor
dapat ditingkatkan sebanyak kurang lebih f.15. sampai f.20 juta setiap tahun.
Van den Bosch menyatakan bahwa cara paksaan seperti yang pernah dilakukan VOC
adalah cara yang terbaik untuk memperoleh tanaman ekspor untuk pasaran Eropa.
Dengan membawa dan memperdagangkan hasil tanaman sebanyak-banyaknya ke Eropa,
maka akan mendatangkan keuntungan yang sangat besar.
Ketentuan Tanam Paksa
Van den Bosch |
Raja Willem tertarik serta setuju dengan usulan dan
perkiraan Van den Bosch tersebut. Tahun 1830 Van den Bosch diangkat sebagai
Gubernur Jenderal baru di Jawa. Setelah sampai di Jawa Van den Bosch segera
mencanangkan sistem dan program Tanam Paksa. Secara umum Tanam Paksa mewajibkan para petani untuk menanam tanaman-tanaman yang dapat diekspor di pasaran dunia. Jenis tanaman itu di samping kopi juga antara lain tembakau, tebu, dan nila. Rakyat kemudian diwajibkan membayar pajak dalam bentuk barang sesuai dengan hasil tanaman yang ditanam petani. Secara rinci beberapa ketentuan Tanam Paksa itu termuat pada Lembaran Negara (Staatsblad) Tahun 1834 No. 22. Ketentuan-ketentuan itu antara lain sebagai berikut.
- Penduduk menyediakan sebagian dari tanahnya untuk pelaksanaan Tanam Paksa.
- Tanah pertanian yang disediakan penduduk untuk pelaksanaan Tanam Paksa tidak boleh melebihi seperlima dari tanah pertanian yang dimiliki penduduk desa.
- Waktu dan pekerjaan yang diperlukan untuk menanam tanaman Tanam Paksa tidak boleh melebihi pekerjaan yang diperlukan untuk menanam padi.
- Tanah yang disediakan untuk tanaman Tanam Paksa dibebaskan dari pembayaran pajak tanah.
- Hasil tanaman yang terkait dengan pelaksanaan Tanam Paksa wajib diserahkan kepada pemerintah Hindia Belanda. Jika harga atau nilai hasil tanaman ditaksir melebihi pajak tanah yang harus dibayarkan oleh rakyat, maka kelebihannya akan dikembalikan kepada rakyat.
- Kegagalan panen yang bukan disebabkan oleh kesalahan rakyat petani, menjadi tanggungan pemerintah.
- Penduduk desa yang bekerja di tanah-tanah untuk pelaksanaan Tanam Paksa berada di bawah pengawasan langsung para penguasa pribumi, sedang pegawai-pegawai Eropa melakukan pengawasan secara umum.
- Penduduk yang bukan petani, diwajibkan bekerja di perkebunan atau pabrik-pabrik milik pemerintah selama 65 hari dalam satu tahun.
Menurut apa yang tertulis di dalam ketentuan-ketentuan tersebut di atas, tampaknya tidak terlalu memberatkan rakyat. Bahkan pada prinsipnya rakyat boleh mengajukan keberatan-keberatan apabila memang tidak dapat melaksanakan sesuai dengan ketentuan. Ini artinya ketentuan Tanam Paksa itu masih memperhatikan martabat dan nilai-nilai kemanusiaan.
Pelaksanaan Tanam Paksa
Menurut
Van den Bosch, pelaksanaan sistem Tanam Paksa harus menggunakan organisasi
desa. Oleh karena itu, diperlukan faktor penggerak, yakni lembaga organisasi
dan tradisi desa yang dipimpin oleh kepala desa. Berkaitan dengan itu
pengerahan tenaga kerja melalui kegiatan seperti sambatan, gotong royong maupun gugur
gunung, merupakan usaha yang tepat untuk dilaksanakan. Dalam hal ini peran
kepala desa sangat sentral. Kepala desa di samping sebagai penggerak para
petani, juga sebagai penghubung dengan atasan dan pejabat pemerintah. Oleh
karena posisi yang begitu penting itu maka kepala desa tetap berada di bawah
pengaruh dan pengawasan para pamong praja.
Yang jelas pelaksanaan Tanam Paksa itu tidak sesuai dengan
peraturan yang tertulis. Hal ini telah mendorong terjadinya tindak korupsi dari
para pegawai dan pejabat yang terkait dengan pelaksanaan Tanam Paksa. Tanam
Paksa telah membawa penderitaan rakyat. Banyak pekerja yang jatuh sakit. Mereka
dipaksa fokus bekerja untuk Tanam Paksa, sehingga nasib diri sendiri dan
keluarganya tidak terurus. Bahkan kemudian timbul bahaya kelaparan dan kematian
di berbagai daerah. Misalnya di Cirebon (1843 - 1844), di Demak (tahun 1849)
dan Grobogan pada tahun 1850.
Sementara itu dengan pelaksanaan Tanam Paksa ini Belanda
telah mengeruk keuntungan dan kekayaan dari tanah Hindia. Dari tahun 1831
hingga tahun 1877 perbendaharaan kerajaan Belanda telah mencapai 832 juta
gulden, utang-utang lama VOC dapat dilunasi, kubu-kubu dan benteng pertahanan
dibangun. Belanda menikmati keuntungan di atas penderitaan sesama manusia.
Memang harus diakui beberapa manfaat adanya Tanam Paksa, misalnya,
dikenalkannya beberapa jenis tanaman baru yang menjadi tanaman ekspor,
dibangunnya berbagai saluran irigasi, dan juga dibangunnya jaringan rel kereta
api. Beberapa hal ini sangat berarti dalam kehidupan masyarakat kelak.
c. Sistem usaha swasta
Pelaksanaan Tanam Paksa memang telah berhasil memperbaiki
perekonomian Belanda. Kemakmuran juga semakin meningkat. Bahkan keuntungan dari
Tanam Paksa telah mendorong Belanda berkembang sebagai negara industri. Sejalan
dengan hal ini telah mendorong pula tampilnya kaum liberal yang didukung oleh
para pengusaha. Oleh karena itu, mulai muncul perdebatan tentang pelaksanaan
Tanam Paksa. Masyarakat Belanda mulai mempertimbangkan baik buruk dan untung
ruginya Tanam Paksa. Timbullah pro dan kontra mengenai pelaksanaan Tanam Paksa.
Pihak
yang pro dan setuju Tanam Paksa tetap dilaksanakan adalah kelompok konservatif
dan para pegawai pemerintah. Mereka setuju karena Tanam Paksa telah
mendatangkan banyak keuntungan. Begitu juga para pemegang saham perusahaan NHM
(Nederlansche Handel Matschappij),
yang mendukung pelaksanaan Tanam Paksa karena mendapat hak monopoli untuk
mengangkut hasil-hasil Tanam Paksa dari Hindia Belanda ke Eropa. Sementara,
pihak yang menentang pelaksanaan Tanam Paksa adalah kelompok masyarakat yang
merasa kasihan terhadap penderitaan rakyat pribumi. Mereka umumnya
kelompok-kelompok yang dipengaruhi oleh ajaran agama dan penganut asas
liberalisme. Kaum liberal menghendaki tidak adanya campur tangan pemerintah
dalam urusan ekonomi. Kegiatan ekonomi sebaiknya diserahkan kepada pihak
swasta.
Nederlansche Handel
Matschappij: perusahaan
dagang yang didirikan oleh Raja
William I di Den Haag pada 9 Maret 1824 sebagai promosi antara lain bidang
perdagangan dan perusahaan pengiriman, dan memegang peran penting dalam mengembangkan
perdagangan Belanda-Indonesia.
Pandangan dan ajaran kaum liberal itu semakin berkembang dan
pengaruhnya semakin kuat. Oleh karena itu, tahun 1850 Pemerintah mulai bimbang.
Apalagi setelah kaum liberal mendapatkan kemenangan politik di Parlemen (Staten Generaal). Parlemen memiliki
peranan lebih besar dalam urusan tanah jajahan. Sesuai dengan asas liberalisme,
maka kaum liberal menuntut adanya perubahan dan pembaruan. Peranan pemerintah
dalam kegiatan ekonomi harus dikurangi, sebaliknya perlu diberikan keleluasaan
kepada pihak swasta untuk mengelola kegiatan ekonomi. Pemerintah berperan
sebagai pelindung warga, mengatur tegaknya hukum, dan membangun sarana
prasarana agar semua aktivitas masyarakat berjalan lancar.
Kaum liberal menuntut pelaksanaan Tanam Paksa di Hindia Belanda diakhiri. Hal tersebut didorong oleh terbitnya dua buah buku pada tahun 1860 yakni buku Max Havelaar tulisan Edward Douwes Dekker dengan nama samarannya Multatuli, dan buku berjudul Suiker Contractor (Kontrak-kontrak Gula) tulisan Frans van de Pute. Kedua buku ini memberikan kritik keras terhadap pelaksanaan Tanam Paksa. Penolakan terhadap Tanam Paksa sudah menjadi pendapat umum.
Oleh karena itu, secara berangsur-angsur Tanam Paksa mulai dihapus dan mulai diterapkan sistem politik ekonomi liberal. Hal ini juga didorong oleh isi kesepakatan di dalam Traktat Sumatera yang ditandatangani tahun 1871. Di dalam Traktat Sumatera itu antara lain dijelaskan bahwa Belanda diberi kebebasan untuk meluaskan daerahnya sampai ke Aceh. Tetapi sebagai imbangannya Inggris meminta kepada Belanda agar menerapkan ekonomi liberal agar pihak swasta termasuk Inggris dapat menanamkan
modalnya di tanah jajahan Belanda di Hindia.
E. Douwes Dekker |
Penetapan pelaksanan sistem politik ekonomi liberal
memberikan peluang pihak swasta untuk ikut mengembangkan perekonomian di tanah
jajahan. Seiring dengan upaya pembaruan dalam menangani perekonomian di negeri
jajahan, Belanda telah mengeluarkan berbagai ketentuan dan peraturan
perundang-undangan.
- Tahun 1864 dikeluarkan Undang-undang Perbendaharaan Negara (Comptabiliet Wet). Berdasarkan Undang-undang ini setiap anggaran belanja Hindia Belanda harus diketahui dan disahkan oleh Parlemen.
- Undang-undang Gula (Suiker Wet). Undang-undang ini antara lain mengatur tentang monopoli tanaman tebu oleh pemerintah yang kemudian secara bertahap akan diserahkan kepada pihak swasta.
- Undang-undang Agraria (Agrarische Wet) pada tahun 1870. Undang-Undang ini mengatur tentang prinsip-prinsip politik tanah di negeri jajahan. Di dalam undang-undang itu ditegaskan, antara lain :
- Tanah di negeri jajahan di Hindia Belanda dibagi menjadi dua bagian. Pertama, tanah milik penduduk pribumi berupa persawahan, kebun, ladang dan sebagainya. Kedua, tanah-tanah hutan, pegunungan dan lainnya yang tidak termasuk tanah penduduk pribumi dinyatakan sebagai tanah pemerintah.
- Pemerintah mengeluarkan surat bukti kepemilikan tanah.
- Pihak swasta dapat menyewa tanah, baik tanah pemerintah maupun tanah penduduk. Tanah-tanah pemerintah dapat disewa pengusaha swasta sampai 75 tahun. Tanah penduduk dapat disewa selama lima tahun, ada juga yang disewa sampai 30 tahun. Sewa-menyewa tanah ini harus didaftarkan kepada pemerintah.
Sejak dikeluarkan UU Agraria itu, pihak swasta semakin
banyak memasuki tanah jajahan di Hindia Belanda. Mereka memainkan peranan
penting dalam mengeksploitasi tanah jajahan. Oleh karena itu, mulailah era
imperialisme modern. Berkembanglah kapitalisme di Hindia Belanda. Tanah jajahan
berfungsi sebagai: (1) tempat untuk mendapatkan bahan mentah untuk kepentingan
industri di Eropa, dan tempat penanaman modal asing, (2) tempat pemasaran
barang-barang hasil industri dari Eropa, (3) penyedia tenaga kerja yang murah.
Usaha perkebunan di Hindia Belanda semakin berkembang. Beberapa jenis tanaman perkebunan yang dikembangkan misalnya tebu, tembakau, kopi, teh, kina, kelapa sawit, dan karet. Hasil barang tambang juga meningkat. Industri ekspor terus berkembang pesat seiring dengan permintaan dari pasaran dunia yang semakin meningkat.
Untuk mendukung pengembangan sektor ekonomi, diperlukan sarana dan prasarana, misalnya irigasi, jalan raya, jembatan-jembatan, dan jalan kereta api. Hal ini semua dimaksudkan untuk membantu kelancaran pengangkutan hasil-hasil perusahaan perkebunan dari daerah pedalaman ke daerah pantai atau pelabuhan yang akan diteruskan ke dunia luar. Pada tahun 1873 dibangun serangkaian jalan kereta api. Jalan-jalan kereta api yang pertama dibangun adalah antara Semarang dan Yogyakarta, kemudian antara Batavia dan Bogor, dan antara Surabaya dan Malang. Pembangunan jalan kereta api juga dilakukan di Sumatera pada akhir abad ke-19. Tahun 1883 Maskapai Tembakau Deli telah memprakarsai pembangunan jalan kereta api. Pembangunan jalan kereta api ini direncanakan untuk daerah-daerah yang telah dikuasai dan yang akan dikuasai, misalnya Aceh. Oleh karena itu, pembangunan jalan kereta api di Sumatra ini, juga berdasarkan pertimbangan politik dan militer. Jalur kereta api juga dibangun untuk kepentingan pertambangan, seperti di daerah pertambangan batu bara di Sumatra Barat.
Di samping angkutan darat, angkutan laut juga mengalami peningkatan. Tahun 1872 dibangun Pelabuhan Tanjung Priok di Batavia, Pelabuhan Belawan di Sumatra Timur, dan Pelabuhan Emmahaven (Teluk Bayur) di Padang. Jalur laut ini semakin ramai dan efisien terutama setelah adanya pembukaan Terusan Suez pada tahun 1869.
Bagi rakyat Bumiputera pelaksanaan usaha swasta tetap membawa penderitaan. Pertanian rakyat semakin merosot. Pelaksanaan kerja paksa masih terus dilakukan seperti pembangunan jalan raya, jembatan, jalan kereta api, saluran irigasi, benteng-benteng dan sebagainya. Di samping melakukan kerja paksa, rakyat masih harus membayar pajak, sementara hasil-hasil pertanian rakyat banyak yang menurun. Kerajinan-kerajinan rakyat mengalami kemunduran karena terdesak oleh alat-alat yang lebih maju. Alat transportasi tradisional, seperti dokar, gerobak juga semakin terpinggirkan. Dengan demikian rakyat tetap hidup menderita.
d. Perkembangan agama Kristen.
Perkembangan
agama Kristen di Indonesia secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi dua,
yakni Kristen Katolik dan Kristen Protestan. Seperti halnya agama Hindu, Buddha
dan Islam, penyebaran agama Kristen juga melalui aktivitas pelayaran dan
perdagangan. Aktivitas pelayaran dan perdagangan waktu itu sudah menjangkau ke
seluruh wilayah Kepulauan Indonesia. Dalam kenyataannya agama Kristen Katolik
dan Kristen Protestan berkembang di berbagai daerah. Bahkan di daerah Indonesia
bagian Timur seperti di Papua, daerah Minahasa, Timor, Nusa Tenggara Timur,
juga daerah Tapanuli di Sumatera, agama Kristen menjadi mayoritas.
Kemudian bagaimana proses masuknya agama Kristen itu ke
Indonesia?. Mengenai proses masuknya agama Kristen ke Indonesia ini dapat
dikatakan dalam dua gelombang atau dua kurun waktu. Pertama dikatakan bahwa agama Kristen masuk di Indonesia sudah
sejak zaman kuno. Menurut Cosmas Indicopleustes dalam bukunya Topographica Christiana, diceritakan
bahwa pada abad ke-6 sudah ada komunitas Kristiani di India Selatan, di pantai
Malabar, dan Sri Lanka. Dari Malabar itu agama Kristen menyebar ke berbagai
daerah. Pada tahun 650 agama Kristen sudah mulai berkembang di Kedah
(Semenanjung Malaya) dan sekitarnya. Pada abad ke-9 Kedah berkembang menjadi
pelabuhan dagang yang sangat ramai di jalur pelayaran yang menghubungkan
India-Aceh-Barus- Nias-melalui Selat Sunda-Laut Jawa dan terus ke Cina. Jalur
inilah yang disebut sebagai jalur penyebaran agama Kristen dari India ke
Nusantara. Diberitakan bahwa agama Kristen kemudian mulai tumbuh di Barus
(Fansur). Di daerah ini terdapat gereja yang dikenal dengan Gereja Bunda
Perawan Murni Maria. Disebutkan juga bahwa di Lobu Tua dekat Kota Barus
terdapat desa tua yang dinamakan “Desa Janji Mariah”.
Dari uraian tersebut dapat dijelaskan bahwa agama Kristen
(Katolik dan Protestan) masuk dengan cara damai melalui kegiatan pelayaran dan
perdagangan. Agama ini tumbuh di daerah-daerah pantai di Semenanjung Malaya dan
juga pantai barat di Sumatera. Penganut agama Kristen hidup di kota-kota
pelabuhan sambil beraktivitas sebagai pedagang. Mereka kemudian juga membangun
pemukiman di daerah itu.
Periode berikutnya, penyebaran agama Kristen menjadi lebih
intensif seiring dengan datangnya bangsa-bangsa Barat ke Indonesia pada abad
ke-16. Kedatangan bangsa-bangsa Barat itu semakin memantapkan dan mempercepat
penyebaran agama Kristen di Indonesia. Orang-orang Portugis menyebarkan agama
Kristen Katolik (selanjutnya disebut Katolik). Orang-orang Belanda membawa
agama Kristen Protestan (selanjutnya disebut Kristen). Telah diterangkan dalam
uraian sebelumnya bahwa pada abad ke-16 telah terjadi penjelajahan samudra
untuk menemukan dunia baru. Oleh karena itu, periode ini sering disebut The Age of Discovery. Kegiatan
penjelajahan samudra untuk menemukan dunia baru itu dipelopori oleh orang-orang
Portugis dan Spanyol dengan semboyannya; gold,
glory, dan gospel. Dengan
motivasi dan semboyan itu maka penyebaran agama Katolik yang dibawa oleh Portugis tidak dapat terlepas dari kepentingan
ekonomi dan politik. Setelah menguasai Malaka tahun 1511 Portugis kemudian
meluaskan eksploitasi ke Kepulauan Maluku dengan maksud memburu rempah-rempah.
Pada tahun 1512 pertama kali kapal Portugis mendarat di Hitu (di Pulau Ambon)
Kepulauan Maluku. Pada waktu itu perdagangan di Kepulauan Igis ramai. Melalui
kegiatan peradagangan ini pula Islam sudah berkembang di Maluku. Kemudian
datang Portugis untuk menyebarkan agama Katholik. Berkembanglah agama Katolik
di beberapa daerah di Kepulauan Maluku. Para penyiar agama Katolik diawali oleh
para pastor (dalam bahasa Portugis, padre
yang berarti imam). Pastor yang terkenal waktu itu adalah Pastor Fransiscus Xaverius SJ dari ordo
Yesuit. Ia aktif mengunjungi desa-desa di sepanjang Pantai Leitimor, Kepulauan
Lease, Pulau Ternate, Halmahera Utara dan Kepulauan Morotai. Usaha penyebaran
agama Katolik ini kemudian dilanjutkan oleh pastor-pastor yang lain. Kemudian
di Nusa Tenggara Timur seperti Flores, Solor, dan Timor agama Katolik
berkembang tidak terputus sampai sekarang.
Berikutnya juga berkembang agama Kristen di Kepulauan Maluku
terutama setelah VOC menguasai Ambon. Pada waktu itu para zendeling aktif
menyebarkan agama baru ini dengan semangat piesme,
yaitu menekankan pertobatan orang-orang Kristen. Penyebaran agama Kristen ini
juga semakin intensif saat Raffles berkuasa. Agama Katolik dan Kristen berkembang pesat di Indonesia bagian timur.
Salah contoh Gereja di Indonesia Timur |
Agama Katholik juga berkembang di Minahasa setelah Portugis singgah di tempat itu pada abad ke-16. Penyebaran agama Katholik di daerah Minahasa dipimpin oleh pastor Diogo de Magelhaens dan Pedro de Mascarenhas. Peristiwa ini terjadi pada tahun 1563, yang dapat dikatakan sebagai tahun masuknya agama Katolik di Sulawesi Utara. Tercatat pada ekspedisi itu sejumlah rakyat dan raja menyatakan masuk agama Katolik dan dibabtis. Misalnya Raja Babontehu bersama 1.500 rakyatnya telah dibabtis oleh Magelhaens. Agama Kristen juga masuk dan berkembang di tanah Minahasa.
Agama Katolik dan Kristen berkembang di daerah-daerah Papua, wilayah Timur Kepulauan Indonesia pada umumnya, Sulawesi Utara dan tanah Batak di Sumatera. Singkatnya agama Katholik dan Kristen dapat berkembang di berbagai tempat di Indonesia, termasuk di Batavia dan Jawa pada umumnya. Bahkan di Jawa ada sebutan Kristen Jawa.
KESIMPULAN
- Periode kemaharajaan kolonialisme dan imperialisme dapat dipahami melalui dua fase: fase keserakahan atau kezaliman kongsi dagang dan fase dominasi pemerintahan kolonial.
- VOC yang bermula sebagai kongsi dagang untuk mencari keuntungan, kemudian berkembang menjadi kekuatan monopoli dan intervensi
- di bidang politik dan pemerintahan kerajaan-kerajaan yang ada di Nusantara.
- VOC akhirnya bubar karena problem manajemen, utang dan korupsi.
- Pemerintahan Komisaris Jenderal yang mengawali dominasi pemerintahan kolonial Belanda mengambil kebijakan jalan tengah.
- Pelaksanaan Tanam Paksa di bawah Van den Bosch telah membawa penderitaan rakyat Indonesia yang kepanjangan.
- Sistem usaha swasta Belanda telah berhasil mengeruk keuntungan dari bumi Indonesia, sementara rakyat tetap menderita.
- Seiring dengan datangnya bangsa Barat juga telah berdampak pada perkembangan agama Kristen Katolik dan Kristen Protestan di Indonesia.
Akhirnya, postingan kali ini membahas tentang Antara Kolonialisme Dan Imperialisme. Admin telah membagikan buat anda sekalian. Tapi sebelum kami menutup mengakhiri artikel di atas, kami mengajak kepada anda untuk membaca artikel sebelumnya mengenai Islamisasi Dan Silang Budaya di Nusantara. Sekian dan terima kasih, sudah mengunjungi blog tercinta kami.
0 Response to "Antara Kolonialisme Dan Imperialisme"
Posting Komentar